NUKILAN.id | Opini – Kasus dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo telah menjadi bola liar yang bergulir selama bertahun-tahun. Isu ini bukan hanya mengguncang ruang publik, tetapi juga menguji ketahanan nalar dan etika dalam demokrasi. Kini, babak baru dimulai ketika Jokowi, bukan lagi sebagai kepala negara, tetapi sebagai warga biasa, melaporkan pihak-pihak yang menyebarkan tuduhan tersebut ke kepolisian.
Langkah ini patut dicermati, bukan karena efek hukumnya semata, tetapi karena ini menandai batas tegas antara kebebasan berpendapat dan penyebaran disinformasi. Dalam masyarakat demokratis, kritik adalah nadi kehidupan publik. Namun, ketika kritik berubah menjadi fitnah yang tak berbasis bukti, maka yang rusak bukan hanya reputasi individu, melainkan juga fondasi rasionalitas publik.
Sebut saja Roy Suryo, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, yang selama ini cukup vokal meragukan keaslian ijazah Jokowi. Alih-alih menyodorkan bukti sahih, Roy dan sejumlah pihak lainnya justru memilih jalan yang sensasional—memainkan opini, memancing keraguan, dan memperkeruh wacana. Dalam beberapa kesempatan, tudingan itu dilontarkan tanpa dasar akademik atau fakta hukum yang bisa diuji.
Bukan hanya Roy, nama-nama seperti Rismon Sianipar, dr. Fauziah Tiasuma, Rizal Fadilah, hingga seorang berinisial “K”, masuk dalam daftar terlapor. Mereka berasal dari latar belakang profesional yang seharusnya menjunjung tinggi integritas dan etika intelektual. Ironisnya, justru dari kalangan ini pula disinformasi itu digulirkan. Ini menunjukkan bahwa hoaks tidak lagi eksklusif milik politisi oportunis, tetapi telah menjalar ke berbagai kelompok masyarakat yang mestinya menjadi benteng rasionalitas.
Jokowi selama ini memilih untuk tidak menanggapi langsung tuduhan itu, kecuali melalui jalur hukum. Ia pernah berkata, ijazahnya hanya akan ditunjukkan dalam proses hukum. Kini, janji itu dipenuhi. Jokowi mendatangi Polda Metro Jaya, menyerahkan dokumen resmi dari jenjang SD hingga kuliah di UGM, bahkan membuka pintu bagi proses digital forensik. Langkah ini bukan saja menunjukkan transparansi, tapi juga menjadi bentuk perlawanan terhadap kebohongan yang terus diproduksi.
Pertanyaannya, mengapa tuduhan seperti ini terus hidup? Jawabannya sederhana: karena kebencian lebih menggiurkan daripada kebenaran. Di era post-truth, fakta kerap dikalahkan oleh narasi yang emosional. Dalam kasus ini, ketidaksukaan terhadap Jokowi dijadikan alasan untuk terus memproduksi keraguan. Tidak peduli sudah berapa kali UGM, sebagai institusi resmi, menegaskan keaslian ijazah Jokowi—narasi palsu tetap disebarkan.
Kita sedang menyaksikan satu bentuk oposisi kebencian. Yakni oposisi yang tidak lagi berdiri di atas fondasi kritik konstruktif, tapi semata-mata didorong oleh hasrat untuk menjatuhkan. Apapun bisa dijadikan peluru—mulai dari isu komunis, anti-Islam, hingga ijazah palsu. Ini bukan saja tidak etis, tetapi berbahaya bagi kesehatan demokrasi.
Tentu, pelaporan ke polisi tidak boleh dijadikan senjata untuk membungkam kritik. Tapi kita juga tidak bisa membiarkan fitnah dibiarkan bebas berkeliaran di ruang publik tanpa tanggung jawab. Demokrasi bukan ruang bebas nilai. Kebebasan berpendapat dibatasi oleh hak orang lain untuk tidak difitnah. Dalam hal ini, Jokowi sebagai warga negara berhak melindungi kehormatannya melalui jalur hukum.
Langkah hukum ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua: bahwa opini publik tidak boleh dibiarkan tenggelam dalam kebohongan yang diulang-ulang. Demokrasi yang sehat mensyaratkan ruang publik yang rasional, berbasis fakta, dan menjunjung tinggi akal sehat. Tanpa itu, kita hanya akan menjadi bangsa yang terjebak dalam kabut kebencian dan prasangka.
Kini, bola ada di tangan aparat penegak hukum. Jika tudingan itu terbukti tidak berdasar, maka para penyebarnya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, baik secara hukum maupun moral. Dan jika masyarakat terus dibiarkan terpapar disinformasi, maka bukan hanya Jokowi yang menjadi korban, tetapi masa depan demokrasi itu sendiri.
Masyarakat Indonesia berhak atas informasi yang benar, bukan yang direkayasa demi kepentingan politik sesaat. Kini saatnya memilih: apakah kita ingin hidup dalam kebohongan yang didaur ulang, atau kembali menjadikan kebenaran dan akal sehat sebagai pijakan bersama?
Penulis: Akil