NUKILAN.id | Banda Aceh – Pada tanggal 13 April 1598, Prancis menorehkan sebuah babak penting dalam sejarah toleransi beragama di Eropa. Hari itu, Raja Henry IV menandatangani Maklumat Nantes atau Edict of Nantes, sebuah dekrit bersejarah yang menjadi angin segar bagi umat Protestan (Huguenot) setelah puluhan tahun konflik berdarah dengan umat Katolik.
Dihimpun Nukilan.id dari berbagai sumber, maklumat ini lahir dari kelelahan bangsa yang dilanda perang saudara selama lebih dari tiga dekade. Perang Agama Prancis yang bermula sejak pertengahan abad ke-16 telah merenggut ribuan nyawa dan mengguncang fondasi negara.
Henry IV, yang semula seorang Huguenot dan kemudian berpindah ke Katolik demi meredam ketegangan, tampil sebagai sosok yang memilih jalan damai. Ia paham, bahwa persatuan hanya bisa diraih bukan dengan pedang, melainkan dengan keadilan.
Secara garis besar, Maklumat Nantes memberikan sejumlah hak yang tak pernah dibayangkan sebelumnya bagi umat Protestan di bawah sebuah kerajaan Katolik. Kebebasan hati nurani diakui di seluruh wilayah Prancis, dan ibadah Protestan diizinkan secara publik di beberapa daerah tertentu, serta secara privat di seluruh negeri. Lebih jauh lagi, umat Protestan diberi hak-hak sipil—termasuk untuk bekerja di sektor pemerintahan, mengakses pendidikan, serta membawa keluhan langsung ke istana raja.
Salah satu hal yang cukup unik, umat Protestan juga diberi wewenang untuk mempertahankan sejumlah kota berbenteng sebagai jaminan keamanan mereka. Ini menjadi bukti bahwa Raja Henry IV tak sekadar menjanjikan perlindungan, tapi juga memberikan instrumen nyata untuk memastikan ketenangan mereka.
Maklumat Nantes pun menjadi salah satu contoh awal toleransi beragama di Eropa modern. Meskipun Katolik tetap menjadi agama resmi negara, keputusan ini menandai langkah awal menuju masyarakat yang lebih inklusif. Di tengah suasana Eropa yang saat itu masih dibayang-bayangi dogma dan intoleransi, Prancis seolah tampil satu langkah lebih maju.
Namun, bab toleransi ini tidak berlangsung lama. Lebih dari delapan dekade kemudian, pada tahun 1685, Raja Louis XIV mencabut Maklumat Nantes melalui Edict of Fontainebleau. Pencabutan ini bukan hanya menghapus jaminan perlindungan bagi Huguenot, tetapi juga memicu eksodus besar-besaran umat Protestan ke negara-negara tetangga seperti Belanda, Inggris, dan wilayah-wilayah Jerman. Banyak dari mereka adalah pengrajin, pedagang, dan intelektual, yang kepergiannya menjadi kerugian besar bagi Prancis.
Kini, Maklumat Nantes dikenang sebagai tonggak awal kompromi dan toleransi dalam sejarah Eropa. Ia menjadi simbol bahwa perdamaian dan keberagaman bukanlah utopia, melainkan bisa menjadi kenyataan ketika pemimpin memilih keberanian untuk mendengar semua suara, bukan hanya suara mayoritas.
Di tengah dunia modern yang masih terus berjuang dengan isu intoleransi dan diskriminasi, kisah Maklumat Nantes adalah pengingat berharga: bahwa kekuasaan sejati bukan berasal dari dominasi, melainkan dari keadilan dan keberanian untuk menghormati perbedaan. (XRQ)
Reporter: Akil