PSI dan Masa Depan Tanpa Drama

Share

NUKILAN.id | Opini — Kongres perdana Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dijadwalkan digelar pada Juli 2025 di Solo, Jawa Tengah, seharusnya menjadi momen penting dalam sejarah partai yang dikenal dengan semangat muda, kritis, dan pro-perubahan. Namun, geliat menuju suksesi kepemimpinan PSI justru terlihat seperti panggung formalitas belaka. Munculnya nama Kaesang Pangarep yang akan kembali maju sebagai Ketua Umum, bersaing dengan dua nama lain—Agus Herlambang dan Isyana Bagus Oka—menimbulkan pertanyaan: ini kongres atau sekadar ritual aklamasi?

Bukan bermaksud meremehkan dua sosok pesaing Kaesang, tetapi realitas politik PSI selama ini menunjukkan bahwa suara kader partai seringkali tak lebih nyaring daripada bisikan penguasa. Sejak Kaesang—yang saat itu baru dua hari menjadi anggota—diangkat menjadi ketua umum, kita menyaksikan bagaimana PSI bukan lagi sekadar partai politik, melainkan menjadi simbol kedekatan dengan istana. Tak ada yang salah dari itu. Namun, ketika proses suksesi dalam partai tidak mencerminkan semangat demokrasi internal yang sehat, maka kritik patut dilayangkan.

Mari kita jujur: siapa yang berani melawan Kaesang? Dalam politik Indonesia hari ini, nama belakang Pangarep bukan sekadar identitas. Ia melekat erat dengan Presiden Joko Widodo, tokoh sentral yang, meskipun bukan anggota resmi PSI, namun jelas-jelas merupakan magnet elektoral dan arah kompas kebijakan partai. PSI dan Jokowi adalah dua entitas yang terpisah secara administratif, tetapi menyatu dalam garis politik yang sama. Jokowi tak pernah duduk secara formal di PSI, tetapi langkah-langkah politik PSI jelas mengikuti jejak sang presiden.

Maka tak heran, jika banyak pihak melihat bahwa Kongres PSI kali ini hanyalah bentuk legitimasi atas status quo. Seperti di PDI-P dengan Megawati Soekarnoputri, di Partai Demokrat dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), atau di Gerindra dengan Prabowo Subianto, kekuasaan dalam partai politik kerap berputar di lingkaran nama-nama besar dan dinasti politik.

Jika PSI sungguh ingin membangun tradisi baru dalam politik Indonesia, maka sudah semestinya kongres perdana ini menjadi momentum pembuktian. Bukan hanya soal siapa yang akan terpilih, tapi bagaimana proses pemilihan itu berlangsung. Apakah kandidat lain diberi ruang yang sama untuk menyampaikan visi-misi? Apakah ada debat internal terbuka antarcalon? Apakah suara kader benar-benar menentukan arah partai, atau hanya ikut apa kata “yang di atas”?

Menariknya, dalam pernyataan Ketua DPW PSI Jawa Tengah, Antonio Sioga, disebutkan bahwa PSI kini sedang mengganti format dan standar baru dalam memilih ketua umum, tidak lagi memakai mekanisme Kopdarnas. Jika benar demikian, ini patut diapresiasi. Tapi pertanyaan lanjutan adalah: apakah substansi berubah atau sekadar ganti nama?

Lebih jauh, isu keikutsertaan Presiden Jokowi di PSI pun ramai dibahas. Akankah Jokowi benar-benar masuk PSI? Kemungkinan itu kecil. Kehadiran Jokowi secara langsung di PSI tak diperlukan, sebab pengaruhnya sudah mengakar. PSI tak butuh Jokowi di dalam, karena Jokowi selalu ada dalam semangat dan arah partai ini. Bahkan, tak berlebihan jika dikatakan, PSI besar karena Jokowi. Bukan karena sistem kaderisasi internal yang kokoh, melainkan karena dukungan simbolik dari sang presiden.

Jadi, jika kongres ini pada akhirnya hanya akan menetapkan kembali Kaesang sebagai ketua umum, tanpa perlawanan yang berarti, tanpa perdebatan gagasan, maka lebih baik lakukan saja secara aklamasi. Hemat waktu, hemat biaya, dan sesuai pula dengan semangat efisiensi ala Prabowo yang kini menjadi presiden terpilih.

Kritik ini tentu bisa dianggap sinis, tapi setidaknya jujur. Jika PSI ingin menunjukkan kedewasaan politik, maka partai ini harus bisa membedakan antara loyalitas dan kultus individu. Jika tidak, maka PSI hanya akan menjadi satu dari sekian banyak partai yang menjadikan kongres sebagai panggung formalitas, bukan arena kontestasi ide.

Sebagai partai yang lahir dari semangat anak muda, PSI harus berani berbeda. Bukan dalam slogan, tapi dalam praktik. Jika Kaesang memang layak memimpin, biarkan ia membuktikan itu di arena terbuka. Jika tidak, maka PSI hanya akan terus menjadi partai kecil dengan bayang-bayang besar bernama Jokowi. (XRQ)

Penulis: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News