NUKILAN.id | Indepth – Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto berencana membentuk 70.000 Koperasi Desa Merah Putih sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi desa.
Koperasi ini diharapkan dapat menjadi outlet bagi kebutuhan pokok masyarakat seperti sembako, obat-obatan, serta layanan klinik. Pernyataan ini disampaikan Bima Arya setelah menghadiri acara penyampaian taklimat Presiden Prabowo Subianto dan buka puasa bersama di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (4/3/2025).
Dalam laporan Kompas.id, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menambahkan bahwa pembangunan Koperasi Desa Merah Putih berkaitan erat dengan pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Nantinya, koperasi ini akan berfungsi sebagai gerai penyedia bahan baku untuk MBG, dengan harapan mampu menekan harga komoditas dengan memangkas rantai distribusi.
Namun, gagasan besar ini tidak lepas dari kritik dan perdebatan. Ketua Umum Suara Muda Kelas Pekerja, Zidan Faizi, menilai kebijakan ini harus dikaji lebih dalam agar benar-benar memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat desa.
Baginya, koperasi harus lebih dari sekadar alat distribusi; ia harus menjadi alat produksi yang memungkinkan masyarakat desa memiliki kendali atas alat-alat produksi mereka sendiri.
Koperasi: Distribusi atau Produksi?
Dalam perbincangannya dengan Nukilan.id, Zidan menyoroti sumber anggaran yang digunakan untuk program ini, yang menurutnya masih terkonsentrasi pada program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ia mengingatkan bahwa meskipun program tersebut penting, pendekatan yang hanya bersifat karitatif tidak akan mengubah struktur ekonomi yang timpang.
“Program ini, meski penting, bersifat karitatif dan tidak secara struktural mengubah relasi produksi yang timpang,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mengkhawatirkan bahwa jika anggaran hanya fokus pada MBG, maka program koperasi desa ini hanya akan menjadi bantuan jangka pendek yang tidak menyentuh akar persoalan kemiskinan di pedesaan.
Baginya, koperasi seharusnya tidak hanya menjadi saluran distribusi barang, tetapi juga menjadi wadah bagi rakyat untuk mengontrol proses produksi dan distribusi secara kolektif.
“Koperasi harus menjadi wadah bagi rakyat untuk mengontrol proses produksi dan distribusi secara kolektif,” katanya.
Jika koperasi hanya berperan sebagai penyalur tanpa melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan dan proses produksi, maka keberadaannya berisiko tidak efektif. Bahkan, menurutnya, ada kemungkinan koperasi justru memperkuat ketergantungan terhadap mekanisme pasar kapitalis.
“Jika demikian sangat berisiko menjadi proyek yang tidak efektif. Bahkan hanya akan memperkuat ketergantungan pada pasar kapitalis,” tambahnya.
Tantangan Koperasi dalam Hegemoni Kapitalisme Global
Zidan melihat bahwa sistem kapitalis yang mendominasi pasar global menjadi hambatan utama bagi keberlangsungan koperasi desa. Menurutnya, persaingan tidak seimbang antara koperasi desa dan korporasi besar yang memiliki modal besar, teknologi canggih, serta jaringan distribusi luas menjadi tantangan tersendiri.
“Kapitalisme global menciptakan persaingan yang tidak seimbang, di mana koperasi desa sulit bersaing dengan korporasi besar yang memiliki modal besar, teknologi canggih, dan jaringan distribusi yang luas,” jelasnya.
Selain hambatan struktural, ia juga menyoroti aspek budaya sebagai tantangan tersendiri bagi koperasi desa. Ia melihat bagaimana mentalitas individualistik yang ditanamkan oleh sistem kapitalis turut melemahkan semangat kolektivitas yang menjadi fondasi utama koperasi.
“Untuk mengatasi ini, koperasi harus didukung dengan pendidikan politik dan ekonomi kerakyatan, serta kebijakan protektif dari negara yang membatasi dominasi korporasi besar di sektor-sektor strategis,” tambahnya.
Membangun Koperasi yang Berdaya: Lima Langkah Strategis
Agar koperasi desa benar-benar berfungsi dan bukan sekadar proyek administratif belaka, Zidan menyampaikan lima langkah konkret yang seharusnya dilakukan pemerintah. Menurutnya, pendekatan bottom-up harus menjadi prinsip utama dalam membangun koperasi desa.
“Koperasi harus tumbuh dari kebutuhan masyarakat, bukan sekadar program dari atas,” ujarnya. Dengan pendekatan ini, koperasi akan lebih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan riil warga desa.
Selain itu, koperasi harus memiliki akses terhadap sumber daya produktif seperti lahan, modal, dan teknologi. Zidan menegaskan bahwa tanpa akses tersebut, koperasi desa akan sulit berkembang dan bersaing di pasar yang semakin kompetitif.
Pendidikan dan pelatihan bagi pengelola koperasi juga menjadi faktor penting. Menurut Zidan, banyak koperasi yang gagal bukan karena kurangnya niat, tetapi karena lemahnya manajemen dan strategi bisnis.
“Tanpa pelatihan yang berkelanjutan, koperasi akan kesulitan bertahan dalam jangka panjang,” katanya.
Pemerintah juga diharapkan menciptakan regulasi yang melindungi koperasi dari persaingan tidak sehat dengan korporasi besar. Aturan yang jelas dan berpihak kepada koperasi akan memberikan kepastian hukum dan mencegah dominasi pasar oleh perusahaan-perusahaan besar.
Terakhir, koperasi desa perlu diintegrasikan dengan program pembangunan desa secara lebih luas. Misalnya, koperasi dapat menjadi bagian dari pengembangan industri kecil, pertanian berbasis agroekologi, atau koperasi konsumsi untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat desa.
“Jika lima langkah ini dijalankan, koperasi desa tidak hanya akan bertahan, tetapi juga menjadi kekuatan ekonomi yang nyata bagi masyarakat,” pungkas Zidan.
Dengan berbagai catatan ini, Zidan berharap Koperasi Desa Merah Putih benar-benar menjadi penggerak ekonomi desa, bukan sekadar program seremonial tanpa dampak nyata bagi rakyat. Menurutnya, keberhasilan koperasi desa tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah, tetapi juga pada sejauh mana masyarakat dilibatkan secara aktif dalam pengelolaannya.
“Pemerintah harus memastikan bahwa koperasi tidak hanya menjadi alat distribusi, tetapi juga alat produksi bahkan alat untuk mengorganisasikan konsumsi masyarakat agar mampu memutus sirkulasi kapital yang terus digunakan kapitalis setempat untuk berakumulasi,” katanya.
Zidan menyoroti bahwa tantangan utama dalam membangun koperasi yang berkelanjutan terletak pada struktur ekonomi yang masih timpang. Tanpa perubahan mendasar dalam relasi produksi, ia khawatir koperasi hanya akan menjadi proyek simbolis yang gagal mencapai tujuannya.
“Tanpa perubahan fundamental dalam relasi produksi, koperasi hanya akan menjadi proyek simbolis yang gagal menyentuh akar ketimpangan sosial dan ekonomi rakyat pekerja pedesaan maupun perkotaan,” tegasnya.
Pernyataan ini mencerminkan tantangan besar bagi pemerintah dan pelaku koperasi dalam memastikan keberlanjutan dan dampak nyata dari gerakan koperasi di tengah persaingan ekonomi yang semakin kompleks.
Dengan membangun koperasi yang benar-benar berbasis pada partisipasi masyarakat, maka koperasi tidak hanya akan menjadi alat distribusi, tetapi juga kekuatan ekonomi yang mampu mengubah nasib rakyat secara mandiri dan berkelanjutan. (XRQ)
Reporter: Akil