NUKILAN.id | Indepth – Seorang pria bertubuh gempal tampak menuruni anak tangga di sebuah ruangan yang berseberangan dengan lobi utama Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia berjalan paling depan, diikuti beberapa pria bertubuh tegap yang terus mengarahkannya untuk melangkah.
Pria tersebut adalah Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan. Usai menjalani pemeriksaan selama delapan jam, ia keluar dengan tangan diborgol dan mengenakan rompi oranye bertuliskan tahanan KPK. Kamis, 20 Februari 2025, menjadi hari terakhir Hasto merasakan kebebasan.
Tak ada lagi sambutan hangat maupun karpet merah yang biasa menyertainya dalam setiap langkah. Kini, kesehariannya hanya dihabiskan bersama tahanan lain, termasuk saat berolahraga di dalam rumah tahanan.
Tak Ada Lagi Perlindungan
Dalam berbagai kesempatan, Hasto kerap menyatakan bahwa kasus hukum yang menjeratnya adalah konsekuensi politik akibat ketegangan dengan Presiden Joko Widodo sejak Pemilu 2024. Sejak perpecahan itu, ia menjadi salah satu tokoh utama yang vokal mengkritik Jokowi. Sikap itu terus dipertahankannya hingga akhirnya ia ditahan.
“Semoga ini (penahanan) menjadi momentum bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menegakkan hukum tanpa kecuali. Termasuk memeriksa keluarga Pak Jokowi,” ujar Hasto sebelum masuk ke mobil tahanan KPK.
Pernyataan tersebut mencerminkan kekecewaannya terhadap Jokowi. Namun, ironisnya, selama pemerintahan Jokowi, Hasto justru tetap berada di luar jangkauan hukum, meskipun kasus yang menjeratnya sudah mencuat sejak lama.
Kasus yang akhirnya membawa Hasto ke balik jeruji bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 2020. Dalam operasi itu, KPK menangkap Komisioner KPU RI saat itu, Wahyu Setiawan, beserta orang kepercayaannya, Agustiani Tio, serta dua pihak lain, yakni Saeful yang berasal dari kalangan swasta, dan Harun Masiku, caleg PDIP pada Pileg 2019.
Wahyu, Agustiani, dan Saeful telah melalui proses hukum dan divonis bersalah. Wahyu terbukti menerima suap sekitar Rp 600 juta untuk mengupayakan Harun Masiku menjadi anggota DPR melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).
Jakarta – Hingga kini, Harun Masiku masih berstatus buronan. Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru menetapkan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, serta seorang pengacara bernama Donny Tri Istiqomah sebagai tersangka pada akhir 2024. Penetapan ini terjadi setelah pemerintahan Joko Widodo dan dominasi PDIP di pemerintahan berakhir.
Menanggapi perkembangan kasus ini, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md menilai adanya unsur politik yang tak terpisahkan dalam proses hukum terhadap Hasto. Ia mempertanyakan mengapa KPK baru mengambil langkah hukum setelah PDIP tidak lagi berkuasa.
“Nah itulah yang saya katakan politisasi, PDIP ada di pemerintahan (saat itu),” ujar Mahfud melalui kanal YouTube pribadinya.
Mahfud juga menekankan pentingnya mengungkap pihak-pihak yang diduga menghalangi proses hukum terhadap Hasto.
“Seharusnya kalau mau jujur nih yah, yang menghalangi siapa? Harusnya kan Hasto dibuka saat itu, berarti kalau tidak dibuka berarti ada yang merintangi dong sehingga tidak terungkap,” tegasnya.
Hasto dan Firli Diduga Punya Hubungan Dekat
Dugaan adanya pihak yang menghalangi proses hukum terhadap Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mencuat dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 6 Februari 2025. Tim Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa pimpinan KPK periode 2019-2024 menolak penetapan Hasto sebagai tersangka, meskipun penyidik telah menyampaikan konstruksi perkara secara rinci.
“Di dalam forum rapat ekspose, tim KPK yang melaksanakan OTT sudah memaparkan rangkaian peristiwa secara runut dan rinci, termasuk peran pemohon (Hasto) dalam konstruksi perkara tersebut,” ujar anggota Tim Biro Hukum KPK.
Namun, alih-alih memberikan persetujuan, pimpinan KPK saat itu justru menolak pengajuan tersebut dan mengganti seluruh tim satgas yang menangani operasi tangkap tangan (OTT).
“Pimpinan KPK kemudian mengganti satgas penyidikan dengan tim lain,” lanjutnya.
Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh mantan penyidik KPK Ronald Paul Sinyal. Dalam keterangannya yang dikutip dari Inilah.com, Ronald menyebut bahwa kasus yang melibatkan Hasto sudah berlangsung lebih dari lima tahun dan mengalami banyak hambatan sejak tahap penyelidikan hingga penyidikan.
“Seperti yang kita ketahui bahwa perkara HM ini sudah berlangsung lama dan berlarut-larut sampai lebih dari 5 tahun, lalu dari panjangnya proses tersebut terjadi cukup banyaknya perintangan dari masa penyelidikan, penyidikan (yang saat itu saya tangani),” kata Ronald.
Ronald juga mengungkap bahwa saat gelar perkara pasca-OTT pada Januari 2020, Firli Bahuri, yang saat itu menjabat sebagai Ketua KPK, tidak menghadiri forum tersebut. Sementara itu, pimpinan KPK lainnya yang hadir diduga telah berkoordinasi untuk membatasi jumlah tersangka menjadi tiga orang.
“Saat ekspos pasca OTT, Saudara FB (Firli) tidak ikut menghadiri ekspos tersebut, namun pihak Pimpinan yang hadir seperti sudah berkoordinasi dan berperan pasif dengan mengharapkan tersangka yang ditetapkan cukup 3 orang saja. Namun, karena Tim Penyelidik saat itu bersikeras bahwa seharusnya ada 5 tersangka karena tidak logis bila hanya 3 tersangka, akhirnya finalnya ditetapkan 4 tersangka (+HM yang sedang buron),” ungkap Ronald.
Selain itu, Ronald juga menyebut bahwa Firli diduga menghalangi upaya penggeledahan kantor Hasto.
“Saudara FB langsung menghalangi proses penggeledahan dengan cara mencoret salah satu objek penggeledahan, yaitu ke Kantor Saudara HK (Hasto),” ujarnya.
Mantan penyidik senior KPK, Novel Baswedan, juga pernah menyinggung adanya kedekatan antara Firli dan Hasto. Pernyataan ini disampaikan Novel saat menghadiri orasi ilmiah Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, pada 7 Mei 2024.
“Saya juga sampaikan pengetahuan saya bahwa Hasto adalah teman dekat Firli Bahuri yang merusak KPK,” kata Novel.
Novel mendesak agar kasus yang melibatkan Hasto segera disidangkan agar fakta hukum dapat terungkap di pengadilan.
“Saya pikir perkara ini sudah cukup jelas dan mestinya segera dituntaskan agar bisa diperiksa semua di pengadilan dalam pokok perkara. Selain itu semua dugaan adanya kasus suap besar di balik perkara ini bisa terungkap,” ujarnya. (XRQ)
Reporter: Akil