NUKILAN.id | Opini – Seruan “Indonesia Gelap” yang digaungkan oleh mahasiswa bukan sekadar slogan kosong. Ini adalah peringatan serius bagi pemerintahan Prabowo Subianto yang baru berjalan sebulan. Berbagai keputusan yang diambil terkesan terburu-buru, kontradiktif, dan minim perencanaan, seperti awan hitam yang mengumpul di langit sebelum berubah menjadi badai besar.
Alih-alih membawa harapan, kebijakan yang diluncurkan justru menimbulkan kebingungan publik dan pasar. Contoh nyata adalah proyek coba-coba seperti pembatasan LPG 3 kg. Meski akhirnya dibatalkan, keputusan ini membuktikan bahwa kebijakan diambil tanpa perhitungan matang. Begitu pula dengan program makan bergizi gratis yang tampak dipaksakan, bahkan dengan mengorbankan program lain dan pelayanan publik. Program ini tidak membedakan anak dari keluarga miskin dan mampu, tidak memiliki indikator keberhasilan yang jelas selain makanan yang tersaji di meja. Tapi apakah menu tersebut benar-benar bergizi dan dikonsumsi siswa? Itu soal lain.
Yang lebih mengkhawatirkan, anggaran program ini begitu besar hingga mengancam keseimbangan keuangan negara. Untuk menutupi kekurangan dana, Prabowo memangkas anggaran kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah hingga lebih dari Rp300 triliun. Akibatnya, pelayanan publik yang seharusnya menjadi prioritas justru terancam lumpuh. Jika rencana pemangkasan anggaran mencapai Rp750 triliun benar-benar dilakukan demi membiayai proyek makan bergizi gratis dan menyuntik modal ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), dampaknya terhadap perekonomian bisa semakin parah.
Danantara sendiri disiapkan untuk mengelola aset perusahaan negara senilai hampir Rp15.000 triliun. Namun, transparansi dan pengawasan lembaga ini masih diragukan. Ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah efisiensi anggaran benar-benar dilakukan demi kepentingan rakyat atau hanya dalih untuk mengalihkan dana ke proyek-proyek favorit pemerintah?
Tak hanya dalam urusan ekonomi, ancaman lain yang muncul dalam empat bulan terakhir adalah menguatnya peran militer dalam pemerintahan. Prabowo melibatkan militer dalam banyak urusan negara, dari mengurus pangan hingga menertibkan kawasan hutan. Komando Daerah Militer (Kodam) pun segera ditambah, dan batalion teritorial mulai dibentuk di tiap kota. Supremasi sipil yang menempatkan kekuasaan di tangan rakyat kini mulai terkikis, terutama setelah perwira aktif diangkat menjadi Direktur Utama Bulog.
Dalam situasi seperti ini, mahasiswa kembali mengambil peran sebagai penjaga demokrasi. Demonstrasi yang mereka lakukan adalah seruan moral untuk mencegah negara jatuh lebih dalam ke jurang ketidakpastian. Jika peringatan mereka diabaikan, cukup lihat bagaimana pasar bereaksi terhadap kebijakan Prabowo: nilai rupiah terus melemah dibanding empat bulan lalu, harga saham BUMN anjlok setelah pengumuman pembentukan Danantara, dan arus dana investasi asing terus mengalir keluar hampir setiap pekan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Prabowo mulai memperlihatkan sikap anti-kritik. Dalam pidato ulang tahun Partai Gerindra, ia melontarkan ungkapan dalam bahasa Jawa yang berarti “kepalamu,” sebuah bentuk sindiran terhadap para pengkritiknya. Para pendukungnya, dari pejabat hingga pemengaruh di media sosial, tak kalah beringas dengan mencemooh peringatan “Indonesia Gelap.” Sementara itu, DPR yang seharusnya menjadi corong rakyat justru lebih terlihat seperti juru bicara pemerintah.
Di tengah situasi ini, suara mahasiswa harus terus dikumandangkan. Demonstrasi mereka bukanlah bentuk perlawanan tanpa tujuan, melainkan upaya menyelamatkan negeri dari kemungkinan kehancuran yang lebih besar. Jika pemerintah terus melangkah tanpa arah, maka rakyat dan mahasiswa harus selalu siap turun ke jalan, menyuarakan kebenaran, dan mengawal demokrasi yang semakin terancam. (xrq)
Reporter: Akil