NUKILAN.id | Opini – Penyidikan kasus korupsi impor minyak oleh Kejaksaan Agung awalnya bak drama yang memikat publik. Pernyataan demi pernyataan dari lembaga hukum ini sukses membakar emosi masyarakat. Bagaimana tidak? Kejaksaan menyebutkan bahwa kerugian negara akibat kasus ini pada 2023 saja mencapai Rp3,7 triliun. Padahal, skandal ini telah berlangsung sejak 2018.
Masyarakat semakin geram ketika Kejaksaan mengungkap bahwa bahan bakar Pertamax yang dijual di SPBU Pertamina ternyata dioplos dengan zat aditif agar nilai oktannya naik. Sentimen publik kian membara. Kepercayaan terhadap Pertamina, bahkan terhadap pemerintah, mulai terkikis. Namun, drama ini kemudian mengalami antiklimaks.
Kejaksaan buru-buru meralat pernyataan mereka, menyatakan bahwa kualitas Pertamax yang beredar saat ini sudah sesuai standar. Mereka juga mengganti diksi “oplosan” dengan “blending”, seolah mencoba meredakan kegaduhan.
Namun, apa yang terjadi ini bukan sekadar soal pernyataan yang direvisi. Ada pola berulang dalam kasus-kasus besar yang ditangani Kejaksaan Agung: menggiring perhatian publik pada angka kerugian fantastis, tetapi mengaburkan sosok yang seharusnya bertanggung jawab.
Dalam perkara korupsi pengusaha Surya Darmadi, misalnya, Kejaksaan semula mengklaim negara rugi Rp8,8 triliun, tetapi pengadilan kemudian hanya mengesahkan Rp2,6 triliun. Dalam kasus korupsi timah, meski angka kerugian Rp300 triliun diakui pengadilan, hingga kini pengembalian kerugian negara masih tanda tanya. Publik disuguhi angka-angka besar, tetapi substansi perkara justru terpinggirkan.
Dalam kasus impor minyak, misalnya, asal-usul klaim kerugian Rp3,7 triliun patut dipertanyakan. Salah satu komponen yang dihitung sebagai kerugian negara berasal dari subsidi dan kompensasi BBM dalam APBN 2023 sebesar Rp147 triliun. Jika nanti angka kerugian negara ini tidak terbukti di pengadilan, sejak awal penyebabnya sudah bisa ditebak: Kejaksaan lebih sibuk menggiring opini ketimbang menegakkan hukum yang solid.
Impor minyak adalah bisnis yang menggiurkan dengan banyak celah korupsi. Mulai dari manipulasi stok di kilang untuk menciptakan alasan impor, rekayasa pengadaan dan harga, hingga permainan dalam pengapalan minyak ke dalam negeri. Bisnis ini dikuasai oleh segelintir orang yang sudah bertahun-tahun bercokol di dalamnya.
Salah satu tersangka dalam kasus ini, Muhammad Kerry Adrianto Riza, adalah bukti betapa kuatnya jaringan bisnis minyak ini. Jejak ayahnya, Muhammad Riza Chalid, sudah lama menjadi sorotan, tetapi tak pernah tersentuh hukum. Dengan hubungan bisnis yang kuat di luar negeri dan kedekatan dengan banyak politikus lintas partai, keberadaan Riza dalam lingkaran impor minyak sulit digeser begitu saja.
Penelusuran Tempo menemukan bahwa kasus ini bukan sekadar soal hukum, tetapi juga perebutan kuasa di sektor impor minyak. Pengusaha yang tak kebagian jatah bisnis berupaya mendongkel pemain lama dengan menggiringnya ke dalam kasus hukum. Ini menjadi mungkin karena pesaing Riza saat ini berada dalam lingkaran kekuasaan. Dengan kata lain, perang bisnis dibalut dengan bumbu penegakan hukum.
Kejaksaan Agung sejak awal sudah menyatakan tidak ada keterlibatan seorang pengusaha dan saudaranya yang kini duduk di kabinet. Padahal, pergantian pemain tidak akan serta-merta membuat tata kelola impor minyak menjadi lebih baik. Jika kasus ini hanya dijadikan alat untuk menyingkirkan kompetitor, maka hukum kembali menjadi alat politik. Seperti istilah kata, “lepas dari mulut harimau, masuk ke perut hiena.” (XRQ)
Penulis: Akil