Sritex Runtuh di Tangan Generasi Kedua, Masa Depan Industri dan Buruh Suram

Share

NUKILAN.id | Indepth – Kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman (SRIL) Tbk atau Sritex pada 1 Maret 2025 mengejutkan banyak pihak, terutama generasi yang akrab dengan produk kain dari perusahaan tekstil raksasa asal Sukoharjo, Jawa Tengah itu.

Berdasarkan hasil penelusuran Nukilan.id, Sritex berawal dari usaha dagang (UD) Sri Redjeki yang didirikan oleh HM Lukminto pada 1966 di Pasar Klewer, Solo, saat era kepemimpinan Presiden Soekarno. Seiring berjalannya waktu, bisnis ini terus berkembang hingga Lukminto mendirikan perseroan terbatas (PT) pada 1978 dengan mendaftarkannya ke Kementerian Perdagangan.

Pada 1992, di era Presiden Soeharto, Sritex mulai mengintegrasikan empat lini produksi utama—pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan garmen. Saat itu, Soeharto dan Ibu Negara Tien Soeharto secara langsung meresmikan pabrik Sritex. Prasasti peresmian bahkan ditandatangani oleh Soeharto, sementara Ibu Tien meninjau proses produksi di pabrik yang mempekerjakan ribuan karyawan.

Kedekatan HM Lukminto dengan pemerintahan Soeharto membawa berkah bagi Sritex. Pada 1990-an, perusahaan ini mendapat pesanan besar seragam militer dari Markas Besar ABRI (sekarang TNI).

Tak hanya mendominasi pasar domestik, Sritex juga menembus pasar global. Pada 1997, perusahaan menandatangani kontrak dengan Angkatan Perang Jerman untuk memproduksi seragam NATO. Pada 1998, total pesanan seragam NATO mencapai satu juta pieces, sementara Inggris juga memesan 400.000 seragam. Papua Nugini memesan 50.000 seragam polisi, dan Kantor Pos Jerman membeli satu juta seragam.

Pada masa kejayaannya, Sritex menjadi pemasok seragam militer untuk lebih dari 30 negara, sekaligus mengekspor benang dan kain ke 100 negara. Dalam setahun, pabrik seluas 79 hektare itu mampu memproduksi 1,1 juta bal benang, 179,9 juta meter kain mentah, 240 juta yard kain berwarna, serta 30 juta potong pakaian dan seragam.

Namun, kejayaan itu kini tinggal sejarah. Sritex yang melantai di bursa sejak 17 Juni 2013 dengan kode emiten SRIL, kini bangkrut di tangan generasi kedua keluarga Lukminto, yakni Iwan Setiawan Lukminto dan Iwan Kurniawan Lukminto.

Perusahaan ini tak mampu mengatasi beban utang yang mencapai Rp26,2 triliun, terdiri dari Rp716,7 miliar utang kepada kreditur separatis dan Rp25,3 triliun kepada kreditur konkuren.

Padahal, pada 2019—sebelum pandemi COVID-19—Sritex masih berjaya dengan total penjualan US$1,3 miliar, meningkat 8,52 persen dari tahun sebelumnya, dan laba bersih mencapai US$85,32 juta atau sekitar Rp1,2 triliun. Namun, setahun kemudian, kondisinya berbalik drastis. Penjualan anjlok ke US$847,5 juta, sementara beban produksi melonjak dari US$1,05 miliar menjadi US$1,22 miliar. Akibatnya, Sritex mengalami kerugian untuk pertama kalinya sejak go public pada 2013.

Industri Terlupakan Akibat Sibuk Berpolitik

Industri manufaktur nasional, terutama sektor tekstil, sudah lama berada dalam kondisi kritis. Sebelum PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) resmi berhenti beroperasi pada 1 Maret 2025, almarhum ekonom senior Faisal Basri telah memperingatkan kemungkinan kehancuran industri ini.

Bukan hanya sektor tekstil yang menghadapi ancaman, tetapi berbagai industri manufaktur lainnya juga berada dalam situasi sulit. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dianggap gagal dalam mendorong pertumbuhan industri manufaktur. Bahkan, untuk sekadar mempertahankan industri yang sudah ada pun, tidak terlihat langkah konkret dari kementerian tersebut.

Dikutip dari Tempo, dalam sebuah diskusi publik di Jakarta pada Selasa (16/7/2024), Faisal menyoroti gelombang kebangkrutan yang melanda industri manufaktur.

“Banyak perusahaan bangkrut, bukan hanya keramik. Banyak yang bangkrut, tekstil bangkrut. Belum bisa pulih dari COVID-19, program restrukturisasinya sudah selesai, yang ndak bisa restrukturisasi ya sudah bangkrut, atau dijual murah,” ujarnya.

Ia juga mengkritik Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita yang dinilai lebih fokus pada aktivitas politik ketimbang memperkuat sektor industri.

“Anda pernah dengar menteri perindustrian bikin pernyataan? Jarang dia, mungkin enggak banyak yang tahu siapa nama menteri perindustrian kita, siapa,” kata Faisal.

Kekhawatiran Faisal Basri terbukti benar. Semakin banyak perusahaan manufaktur yang tidak mampu bertahan. Selain Sritex, PT Yamaha Music Indonesia dan PT Sanken Indonesia juga menghentikan operasionalnya, dengan keputusan merelokasi usaha mereka ke Jepang dan China.

Gelombang penutupan pabrik ini berdampak besar pada tingkat pengangguran. Dari Sritex saja, lebih dari 10.000 pekerja harus kehilangan pekerjaan. Sementara itu, jumlah pekerja yang terkena PHK akibat penutupan Yamaha Music dan Sanken melebihi 1.500 orang.

Tak hanya itu, dua pabrik sepatu di Tangerang, yakni PT Adis Dimension Footwear dan PT Victory Ching Luh, juga terpaksa menghentikan produksi dan memberhentikan sekitar 4.000 karyawan. Di Garut, Jawa Barat, pabrik bulu mata PT Danbi International mengalami nasib serupa, dengan kemungkinan jumlah pekerja terdampak mencapai 2.100 orang.

Sependapat dengan Faisal Basri, ekonom senior sekaligus Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini, menilai bahwa kebijakan Kemenperin di bawah Agus Gumiwang Kartasasmita masih belum memberikan dampak signifikan bagi pertumbuhan sektor industri. Menurutnya, manufaktur memegang peran kunci dalam perekonomian nasional. Jika sektor ini runtuh, maka ekonomi negara pun akan ikut terdampak.

“Selama ini kementerian perindustrian berperan sangat terbatas dengan kebijakan yang lemah dan tidak bernilai signifikan untuk memajukan sektor industri,” ujar Didik dalam sebuah pernyataan di Jakarta, Selasa (18/6/2024).

Didik menilai bahwa kebijakan yang diterapkan saat ini justru menghambat perkembangan industri nasional. Ia berpendapat bahwa regulasi yang ada tidak memberikan cukup peluang, ruang, maupun dorongan bagi industri dalam negeri untuk tumbuh.

Menurutnya, jika kondisi tersebut terus berlangsung, maka target Presiden Prabowo untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen sulit tercapai.

“Yang terjadi bahkan bisa jadi sebaliknya. Di mana, pertumbuhan ekonomi akan selalu di bawah 5 persen karena industrinya tumbuh sangat rendah,” ujar Didik.

Ia membandingkan Indonesia dengan Vietnam dan India yang mampu meningkatkan perekonomian mereka dengan menjadikan sektor industri sebagai penggerak utama pertumbuhan.

Di India, kata Didik, industri mampu tumbuh dua digit, sehingga perekonomiannya lebih mudah terdorong hingga mencapai pertumbuhan 7 persen. Sementara di Indonesia, industri dinilainya masih berjalan lambat, sehingga pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 5 persen.

“Nah, faktor kritis dalam pertumbuhan ekonomi di masa pemerintahan Prabowo nanti terletak di kementerian ini,” tambahnya.

Pernyataan Didik mendapat tanggapan dari Ilham Permana, anggota Komisi VII DPR dari Partai Golkar. Ia menilai analisis Didik Rachbini kurang berbasis data.

Menurutnya, data menunjukkan sektor industri menyumbang 33 persen dari total investasi nasional. Selain itu, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur tetap berada di zona ekspansi.

Ia juga menyoroti kinerja ekspor industri serta Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Desember 2024, yang tetap berada di level ekspansi, yakni 52,93.

Dilansir dari Kabar Golkar, pada 10 Feb 2025 lalu Ilham menegaskan bahwa posisi IKI pada Desember tahun lalu ditopang oleh ekspansi 19 subsektor yang berkontribusi terhadap PDB Industri Manufaktur Nonmigas pada Triwulan II-2024 sebesar 90,5 persen.

Berdasarkan data kuantitatif, lanjut Ilham, kinerja Menteri Perindustrian Agus Gumiwang cukup baik. Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB nasional mencapai 17,6 persen, menjadikannya yang tertinggi di kawasan ASEAN.

“Di bawah kepemimpinan Menperin Agus Gumiwang, kami sebagai mitra kerja sektor industri manufaktur, tetap menjadi motor penggerak utama perekonomian nasional,” tutupnya.

Utang Berlebihan dan Kejatuhan Sritex

Ekonom sekaligus pakar kebijakan publik, Achmad Nur Hidayat menilai bahwa kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman (SRIL) Tbk, atau Sritex, lebih disebabkan oleh kesalahan dalam strategi pengelolaan keuangan, bukan semata-mata akibat persaingan dengan produk impor yang membanjiri pasar Indonesia.

Dalam hal ini, dua bersaudara generasi kedua Lukminto, yakni Iwan Setiawan Lukminto dan Iwan Kurniawan Lukminto, dinilai telah membuat kesalahan besar dengan mengembangkan bisnis menggunakan utang sebagai tumpuan utama.

“Dalam situasi seperti ini, manajemen Sritex, yang dikendalikan oleh keluarga Lukminto, harusnya lebih berhati-hati dalam pengelolaan keuangan,” ujar Achmad Nur dikutip dari Inilah.com, Jakarta, Sabtu (8/3/2025).

Menurutnya, peran keluarga Lukminto dalam kejatuhan Sritex tidak bisa dikesampingkan. “Sebagai pemegang kendali utama dalam manajemen Sritex, keputusan-keputusan bisnis yang mereka ambil sangat menentukan arah perusahaan,” lanjutnya.

Achmad Nur menjelaskan bahwa Sritex mengajukan pinjaman dalam jumlah besar untuk memperluas kapasitas produksi. Namun, perusahaan gagal mengantisipasi perubahan permintaan di pasar global serta dampak pandemi COVID-19 yang menghantam industri tekstil.

“Ketika permintaan menurun drastis, perusahaan justru terjebak dalam beban utang yang kian menggunung,” katanya.

Alih-alih melakukan efisiensi dan restrukturisasi keuangan secara bertahap, Sritex justru tetap menjalankan operasionalnya secara agresif dengan harapan pasar segera pulih.

Kepercayaan diri yang berlebihan tanpa perhitungan matang ini justru memperburuk kondisi keuangan perusahaan. Akibatnya, Sritex menghadapi gagal bayar utang yang mencapai hampir Rp30 triliun (Rp29,8 triliun) dan akhirnya dinyatakan pailit.

“Ketika akhirnya utang jatuh tempo dan perusahaan gagal memenuhi kewajiban keuangan kepada kreditur, Sritex tidak lagi memiliki daya tahan untuk bertahan,” tambahnya.

Selain kesalahan dalam strategi manajemen, Achmad Nur juga menyoroti faktor eksternal yang mempercepat kejatuhan perusahaan.

“Persaingan ketat dengan produk tekstil impor, terutama dari China dan negara lain yang memiliki keunggulan biaya produksi lebih rendah, semakin menekan industri tekstil dalam negeri,” jelasnya.

Akibat kepailitan ini, ribuan pekerja Sritex dan anak perusahaannya ikut terdampak. Sebanyak 10.000 karyawan resmi kehilangan pekerjaan sejak 26 Februari 2025.

Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo, Jawa Tengah, Sumarno, menyatakan bahwa pihaknya telah menerima surat resmi dari tim kurator kepailitan Sritex.

Surat tersebut memuat informasi mengenai proses kepailitan Sritex serta tiga anak perusahaannya, yakni PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya, yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.

“Opsi pemutusan hubungan kerja diputuskan setelah tim kurator bertemu dengan debitur, yakni manajemen Sritex. Jadi, kebijakan PHK karyawan resmi diberlakukan per 26 Februari. Namun, aktivitas operasional pabrik tetap berjalan hingga 28 Februari. Pekerja masih bekerja hingga Jumat,” kata Sumarno, dikutip dari Inilahjateng, Kamis (27/2/2025). (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News