Mengenal Sidang Isbat: Sejarah, Tahapan, dan Peranannya dalam Penetapan Awal Ramadan

Share

NUKILAN.id | Banda Aceh – Setiap menjelang Ramadan dan hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha, sidang isbat menjadi sorotan utama umat Islam di Indonesia. Proses penetapan awal bulan Hijriah ini dilakukan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) bersama berbagai pihak terkait. Namun, bagaimana sejarah sidang isbat di Indonesia dan bagaimana prosesnya berlangsung?

Pengertian Sidang Isbat

Dilansir Nukilan.id dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “isbat artinya penetapan dan penentuan.” Dengan demikian, sidang isbat adalah forum resmi yang digunakan untuk menentukan awal bulan dalam kalender Hijriah, termasuk awal Ramadan dan Idul Fitri.

Tahapan Sidang Isbat

Sidang isbat bukan sekadar pertemuan biasa, melainkan melalui proses yang sistematis. Ada tiga tahapan utama dalam pelaksanaannya:

  1. Pemaparan Posisi Hilal Ahli astronomi dan tim hisab rukyat memaparkan posisi hilal berdasarkan perhitungan ilmiah. Hal ini mencakup data visibilitas hilal yang dikumpulkan dari berbagai titik pengamatan di Indonesia.
  2. Pelaksanaan Sidang Isbat Setelah mendapatkan hasil pengamatan hilal, sidang tertutup digelar untuk menetapkan awal bulan Hijriah berdasarkan kesepakatan yang dicapai.
  3. Konferensi Pers Hasil sidang kemudian diumumkan kepada publik melalui konferensi pers yang biasanya disiarkan langsung oleh berbagai media televisi.

Sejarah Sidang Isbat di Indonesia

Sebelum Indonesia merdeka, penentuan awal bulan Qamariyah dilakukan secara terpisah oleh masing-masing ketua adat di berbagai daerah. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam penetapan awal Ramadan dan Idul Fitri di berbagai wilayah.

Perubahan besar terjadi pada 4 Januari 1946 ketika Kementerian Agama resmi ditunjuk sebagai lembaga yang berwenang menetapkan Idul Fitri dan Idul Adha. Namun, keputusan ini belum mampu menyatukan seluruh umat Islam. Oleh karena itu, pada 16 Agustus 1972, pemerintah membentuk Badan Hisab Rukyat (BHR) untuk menyeragamkan metode penentuan awal bulan Hijriah.

Di bawah naungan BHR, berbagai kriteria untuk menentukan awal bulan Qamariyah mulai diterapkan. Pada awal kemerdekaan, pedoman yang digunakan adalah “wujudu hilal.” Kemudian, di era Orde Baru, sistem “imkanur rukyat” diterapkan dengan tiga kriteria utama: tinggi hilal minimal 2 derajat, jarak hilal-matahari minimal 3 derajat, dan umur bulan sejak ijtimak minimal 8 jam.

Pada tahun 1974, kriteria ini mulai diterima secara regional dalam forum Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS). Namun, tantangan muncul pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid ketika BHR hampir dibubarkan karena dinilai kurang efektif dalam menyeragamkan awal bulan Hijriah.

Saat era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), BHR kembali diperkuat dengan melibatkan para pakar astronomi. Tujuannya agar keputusan yang diambil tidak hanya sah secara agama tetapi juga memiliki dasar ilmiah yang kuat. Sejak saat itu, sidang isbat mulai disiarkan langsung di televisi, memungkinkan masyarakat mengikuti secara langsung proses penetapan awal Ramadan dan Syawal.

Hingga kini, sidang isbat tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Setiap tahunnya, masyarakat menantikan hasil sidang yang menjadi pedoman dalam menjalankan ibadah Ramadan dan merayakan Idul Fitri serta Idul Adha secara serempak. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News