NUKILAN.id | Banda Aceh – Menurut skala UNESCO, bahasa Aceh tergolong dalam kategori definitely endangered atau terancam punah secara definitif. Iskandar Syahputera, Peneliti Bahasa, Sosial, dan Humaniora dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menjelaskan bahwa hal ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah penutur, terutama di kalangan generasi muda. Namun, di tingkat akar rumput, muncul perdebatan: apakah bahasa Aceh benar-benar menuju kepunahan, atau justru ilmu yang berkaitan dengannya yang mulai hilang?
Dalam diskusi yang digelar di Universitas Syiah Kuala, Selasa (19/9/2023), Iskandar mengungkapkan bahwa status definitely endangered menunjukkan transmisi bahasa Aceh antar generasi semakin terhambat.
“Ini bukan hanya persoalan jumlah, tetapi juga transmisi antargenerasi yang terhambat. Jika tidak diintervensi, bahasa ini bisa mencapai fase kritis dalam beberapa dekade,” jelasnya.
Senada dengan itu, Herman RN, seorang budayawan yang juga Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala, menilai bahwa kepunahan bahasa daerah seiring modernisasi memang tak terelakkan. Namun, ia menyoroti faktor percepat yang berasal dari kurangnya perhatian negara.
“Regulasi yang lemah, minimnya alokasi anggaran, dan absennya komitmen politik membuat bahasa daerah seperti Aceh tak memiliki ruang bernapas. Negara seolah menyerahkan tanggung jawab pelestarian hanya pada komunitas lokal,” kritik Herman.
Sementara itu, Sufriani, S.Pd., Kepala SMK Negeri 3 Banda Aceh, menawarkan perspektif berbeda. Ia menegaskan bahwa bahasa Aceh masih aktif digunakan dalam percakapan sehari-hari di pedesaan.
“Yang terancam bukan bahasanya, melainkan ilmu-nya. Anak-anak di pedesaan masih fasih berucap ‘teurimong geunaseh’ (terima kasih), tetapi tak mengenal struktur tulisan. Ini masalah serius,” ujarnya kepada Dialeksis.
Ia membandingkan kondisi ini dengan Jepang dan Arab, di mana pembelajaran bahasa diawali dengan pengenalan huruf kanji atau hijaiyah. Sayangnya, menurutnya, di Aceh, kurikulum bahasa daerah yang pernah diterapkan di tingkat SD tidak berjalan optimal karena pengajarnya bukan ahli linguistik Aceh.
“Hasilnya, pembelajaran tak maksimal. Regenerasi ahli bahasa Aceh pun minim,” tambahnya.
Sufriani menyoroti bahwa ancaman terbesar bukan hanya hilangnya penggunaan bahasa Aceh, tetapi juga aspek akademisnya. “Jika tak ada yang menguasai tata bahasa, sastra, dan aksara Aceh, kita akan kehilangan khazanah intelektual. Saat ini, para ahli semakin sepuh, sementara generasi muda lebih tertarik mempelajari bahasa asing,” jelasnya.
Data BRIN mencatat bahwa dari 718 bahasa daerah di Indonesia, sebanyak 25 masuk dalam kategori critically endangered, sementara 77 lainnya, termasuk bahasa Aceh, tergolong definitely endangered. Hal ini menunjukkan perlunya langkah strategis yang komprehensif.
Herman RN mengusulkan agar bahasa daerah diintegrasikan ke dalam kebijakan pendidikan nasional.
“Perlu ada roadmap jelas, mulai dari penyusunan kurikulum berbasis kearifan lokal, sertifikasi guru khusus bahasa Aceh, hingga dukungan riset untuk pengembangan kosakata kontemporer,” paparnya.
Sufriani pun sependapat, namun ia menekankan pentingnya kerja sama antara pemerintah, akademisi, dan komunitas lokal.
“Di tingkat sekolah, kita bisa mulai dengan ekstrakurikuler menulis aksara Aceh atau lomba cerita rakyat. Di tingkat nasional, perlu ada payung hukum yang memastikan bahasa daerah diajarkan secara sistematis, bukan sekadar tempelan,” tegasnya.
Sebagai langkah awal, BRIN berencana menyusun atlas bahasa daerah Indonesia serta memperkuat dokumentasi digital. Namun, tanpa keterlibatan semua pihak, upaya ini bisa sia-sia. Seperti yang diingatkan Iskandar, “Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, ia adalah jati diri. Kehilangan bahasa berarti mengubur separuh peradaban.”
Editor: Akil