NUKILAN.id | Indpeth – Revisi Tata Tertib DPR kembali memunculkan polemik. Perubahan aturan yang membuka peluang evaluasi hingga pencopotan pejabat ini menuai sorotan. Banyak pihak menilai kebijakan ini sebagai langkah berani, tetapi juga berpotensi memperbesar celah bagi praktik politik transaksional.
DPR RI kali ini menunjukkan manuver cepat dalam pembuatan regulasi. Jika biasanya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) berlangsung panjang dan penuh perdebatan, kali ini aturan disahkan hanya dalam waktu tiga jam.
Badan Legislasi DPR telah menyetujui revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib), yang diusulkan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Hasil penelusuran Nukilan.id, revisi ini memberikan ruang bagi lembaga legislatif memiliki instrumen baru yang memungkinkan mereka melakukan evaluasi terhadap pejabat negara.
Perubahan signifikan dalam revisi ini adalah penambahan Pasal 228A, yang memberikan wewenang bagi DPR untuk mengevaluasi pimpinan lembaga dan kementerian yang telah disepakati dalam rapat paripurna.
Dengan aturan baru ini, sejumlah pejabat negara seperti pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) dapat dievaluasi oleh parlemen. Posisi strategis lainnya seperti Gubernur Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Kapolri dan Panglima TNI juga termasuk dalam daftar evaluasi.
Keputusan DPR pada 4 Februari lalu ini menuai berbagai respons dan terus berkembang menjadi isu hangat. Salah satu kekhawatiran yang mencuat adalah kemungkinan DPR mengambil alih kewenangan Presiden dalam mencopot pejabat negara.
Namun, pada 6 Februari lalu Ketua Baleg DPR Bob Hasan menegaskan bahwa wewenang DPR hanya sebatas evaluasi, bukan mencopot pejabat.
“Pada akhirnya pejabat yang berwenang atas evaluasi berkala dari DPR itu akhirnya ada keputusan mencopot. Bukan DPR yang mencopot,” ujarnya dalam rapat pleno di Gedung Senayan, Jakarta Pusat dikutip dari Detik.com.
Sementara itu, Partai Gerindra, yang merupakan partai Presiden Prabowo, bereaksi keras terhadap isu bahwa DPR dapat memberhentikan pejabat publik melalui revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib). Dikutip dari Kompas.com, pada 7 Februari lalu Wakil Ketua DPR sekaligus politisi senior Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan kebingungannya atas isu tersebut.
“Ya, sebenarnya kita tidak ada arah ke sana. Ya kita juga agak bingung kenapa kemudian isunya diarahkan ke sana,” ujarnya pekan lalu.
Revisi tersebut memang memperkenalkan mekanisme evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang telah dipilih. Dengan adanya istilah ‘pengawasan’ dan ‘evaluasi’ dalam perubahan tersebut, publik menilai DPR memiliki pengaruh besar terhadap pejabat yang bersangkutan.
Melalui evaluasi itu, DPR dapat memberikan rekomendasi kepada presiden untuk mengganti pejabat yang sebelumnya telah melalui proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR. Dengan kata lain, DPR tidak memiliki kewenangan langsung untuk mencopot pejabat, tetapi hasil evaluasi tersebut berpotensi menjadi tekanan politik bagi presiden dalam mengambil keputusan.
Mekanisme evaluasi berkala ini dikhawatirkan dapat dimanfaatkan sebagai alat tekanan politik yang justru mengganggu independensi pejabat negara. Padahal, DPR telah memiliki prosedur resmi untuk meminta pertanggungjawaban pejabat negara, seperti melalui rapat kerja, hak interpelasi, hak angket, dan pernyataan.
Ciptakan Kedigdayaan DPR dan Potensi Relasi Koruptif
Revisi Tata Tertib DPR yang baru memberikan kewenangan lebih besar kepada lembaga legislatif ini, menjadikannya semakin dominan dalam struktur politik nasional. Kekuatan baru ini bahkan melampaui apa yang pernah dibayangkan oleh para pendiri bangsa.
Jika aturan ini diterapkan, DPR bisa memperoleh kewenangan yang lebih luas dibandingkan Presiden, termasuk dalam mencopot pejabat negara maupun daerah dengan dalih menjalankan fungsi pengawasan.
Kekhawatiran muncul bahwa perubahan ini dapat membuka peluang transaksi politik antara DPR dan pejabat demi mempertahankan jabatan mereka. Hal ini seperti diungkapkan oleh Poengky Indarti, pengamat kepolisian yang juga menjabat sebagai Komisioner Kompolnas periode 2020–2024 pada 9 Februari lalu.
“Hal ini justru dapat menciptakan relasi yang koruptif, bukan relasi pengawasan yang efektif,” ujar Poengky Indarti, kikutip dari Kompas.com.
Peningkatan kewenangan ini juga dinilai melampaui banyak undang-undang sektoral yang sejatinya menjamin independensi berbagai lembaga negara. Oleh karena itu, muncul dugaan bahwa revisi ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik kelompok tertentu.
Herdiansyah Hamzah, pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, menduga ada unsur politik di balik revisi ini yang dapat menekan para penyelenggara negara.
“Apa motif di belakangnya? Ada semacam upaya mengakalisasi proses penyanderaan terhadap pimpinan KPK dan MK, dan ini sudah kerap kali kita dapatkan,” kata Hamzah dikutip dari Inilah.com.
Hamzah menilai manuver semacam ini bukan hal baru. Sebelumnya, sejumlah undang-undang telah diubah untuk memperluas kewenangan DPR, tidak hanya dalam pengusulan tetapi juga pencopotan pejabat, seperti yang terjadi pada Hakim MK Aswanto yang digantikan oleh Guntur Hamzah pada 2022.
Saat itu, DPR secara tiba-tiba mencopot Aswanto dan menggantinya dengan Guntur Hamzah, yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Jenderal MK. Keputusan ini diambil melalui rapat internal Komisi III DPR dan disahkan dalam Rapat Paripurna.
Pergantian ini menuai kritik karena dinilai sebagai bentuk intervensi DPR terhadap independensi MK. Salah satu alasan pencopotan Aswanto adalah karena banyak produk legislasi DPR yang dibatalkan oleh MK. Guntur Hamzah pun diketahui mengikuti uji kelayakan dan kepatutan secara kilat oleh Komisi III DPR.
Membuka Celah Penyalahgunaan Wewenang
Revisi Tata Tertib (Tatib) DPR meningkatkan posisi tawar lembaga legislatif, tetapi di sisi lain, berpotensi membuka celah bagi penyalahgunaan kewenangan. Jika ada anggota DPR yang terseret dalam sebuah kasus, aturan ini bisa saja digunakan sebagai alat ‘ancaman’ agar pejabat negara tidak melanjutkan pengusutan. Selain itu, peluang praktik korupsi pun mengintai, di mana aturan ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana tawar-menawar dalam proyek tertentu atau kepentingan politik lainnya.
Secara historis, ada beberapa peristiwa yang mengindikasikan kemungkinan kolusi antara anggota DPR dan pejabat tinggi negara. Salah satu contoh yang cukup mencolok terjadi pada 2017, ketika DPR menggunakan hak angket untuk menekan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah lembaga itu menolak membuka rekaman pemeriksaan dalam kasus korupsi e-KTP. Langkah tersebut dipandang sebagai bentuk intervensi politik terhadap proses hukum.
Beberapa kasus korupsi yang menyeret anggota DPR juga kerap dikaitkan dengan upaya lobi-lobi agar perkara tidak berlanjut. Bahkan, ada dugaan bahwa suap yang melibatkan hakim atau pejabat Mahkamah Agung (MA) berkaitan dengan kepentingan legislatif untuk mendapatkan keputusan hukum yang menguntungkan mereka.
Tak bisa dimungkiri, proses pemilihan pejabat negara sering kali disebut tidak lepas dari campur tangan politik. Ada indikasi bahwa anggota DPR atau partai politik tertentu melakukan intervensi agar figur yang dianggap lebih ‘menguntungkan’ mereka bisa terpilih dalam jabatan strategis.
Namun, meskipun isu ini kerap muncul dalam pemberitaan media dan laporan investigasi lembaga independen, pembuktian keterlibatan anggota DPR dalam praktik lobi semacam ini tidaklah mudah.
Pada dasarnya, Tata Tertib DPR dirancang untuk mengatur mekanisme internal parlemen, bukan menjadi alat untuk menentukan nasib pejabat negara. Akan tetapi, dengan revisi terbaru ini, DPR tampaknya berhasil ‘meng-upgrade’ aturan internalnya menjadi instrumen politik yang semakin berpengaruh. Tak heran jika publik mulai bertanya-tanya, apakah setelah ini DPR juga akan turut mengatur harga emas, beras, stunting, atau bahkan nasib rakyat dengan alasan menjaga martabat parlemen?
Yang lebih dibutuhkan DPR saat ini bukanlah ‘peluru’ baru untuk mengganti pejabat, melainkan fokus pada legislasi yang benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat. Alih-alih menjadikan Tata Tertib sebagai ‘Tata Copot’, DPR seharusnya lebih memusatkan perhatian pada kebijakan yang mendukung kesejahteraan rakyat dan efisiensi anggaran negara. (xrq)
Reporter: Akil