NUKILAN.id | Opini – Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah berani, atau bisa dibilang berisiko tinggi, dengan membentuk Badan Pengelola Prestasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Lembaga ini bukan sekadar upaya penswastaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tetapi sebuah eksperimen besar dalam ekonomi terpimpin bergaya militaristik. Alih-alih memperkuat daya saing perusahaan negara, kebijakan ini justru bisa melemahkan kepercayaan pasar global terhadap perekonomian Indonesia.
Undang-Undang BUMN yang disahkan pada 4 Februari 2025 menyebutkan bahwa Danantara akan menguasai 99% saham perusahaan negara, sementara sisanya dipegang oleh Kementerian BUMN. Dengan skema ini, aset BUMN yang selama ini menjadi bagian dari pendapatan negara melalui dividen, kini akan dikelola secara langsung oleh Danantara. Tahun lalu saja, dividen dari 65 BUMN yang masuk ke kas negara mencapai Rp85,5 triliun dari total aset Rp10.402 triliun yang mereka kelola. Kini, angka tersebut akan masuk ke kas Danantara, diolah sebagai investasi tanpa kontrol langsung dari negara.
Kebijakan ini berimplikasi besar. Dengan statusnya yang baru, perusahaan-perusahaan di bawah Danantara tak lagi dianggap sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. Direksi dan komisarisnya pun tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara, sehingga tak masuk dalam cakupan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mereka tak wajib melaporkan harta kekayaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahkan terbebas dari tanggung jawab ganti rugi atas keputusan bisnis yang keliru.
Lebih jauh, Danantara juga menghilangkan peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam mengaudit perusahaan-perusahaan tersebut. Sebagai gantinya, audit akan dilakukan oleh kantor akuntan publik, layaknya perusahaan swasta. BPK hanya bisa masuk dalam kasus investigasi khusus atas izin Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ini menciptakan celah besar dalam transparansi dan akuntabilitas pengelolaan aset negara.
Dengan menempatkan Danantara langsung di bawah kekuasaan presiden, Prabowo berpotensi menggunakan lembaga ini sebagai alat politik dan ekonomi. Alih-alih menjadi badan investasi yang mandiri, Danantara bisa digunakan untuk membiayai program-program prioritas pemerintah, seperti proyek makan bergizi gratis atau bahkan pembentukan pasukan militer baru di berbagai daerah. Konsekuensinya, pasar merespons dengan skeptisisme. Sebelum peluncurannya pada 24 Februari 2025, nilai saham sejumlah perusahaan pelat merah sudah mengalami penurunan tajam. Harga saham Bank Mandiri anjlok 16,07%, BRI melemah 4,75%, BNI turun 8,59%, sementara saham PT Semen Indonesia Tbk jatuh hingga 22,49%. Ini menunjukkan bahwa investor tak percaya dengan model pengelolaan baru yang ditawarkan Danantara.
Jika ditarik ke belakang, Danantara bukan sekadar proyek Prabowo. Ini adalah realisasi gagasan Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, yang sejak 1980-an sudah mengusulkan pembentukan lembaga investasi serupa. Ide ini ditolak oleh Menteri Keuangan JB Sumarlin pada 1988-1993, tetapi kemudian diterapkan di Malaysia melalui Hasanah Nasional Berhad pada 1993. Prabowo sendiri mengonfirmasi ketertarikannya terhadap gagasan ini dalam bukunya “Paradoks Indonesia dan Solusinya” (2022). Dalam buku itu, ia mengklaim bahwa kekayaan Indonesia lari ke luar negeri karena sumber daya alam tidak dikelola perusahaan negara.
Prabowo tampaknya mengadopsi inspirasi dari model reformasi ekonomi Deng Xiaoping di Tiongkok pada akhir 1970-an, yang menciptakan 150.000 BUMN untuk mengelola sumber daya alam. Namun, perbedaan mendasarnya adalah, Tiongkok menerapkan model ini dalam sistem ekonomi tertutup dengan kontrol penuh oleh Partai Komunis. Indonesia, sebagai negara demokrasi dengan ekonomi terbuka, menghadapi tantangan berbeda. Mengadopsi kapitalisme negara tanpa checks and balances yang memadai justru berpotensi merusak kepercayaan pasar dan menggerus transparansi.
Lebih jauh, Danantara bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga politik. Jika visi Prabowo benar-benar ingin mengikuti “demokrasi Pancasila” yang ia sebutkan dalam bukunya, ini bisa berujung pada pergeseran besar dalam sistem pemerintahan. Demokrasi Pancasila yang ia bayangkan menghapus pemilihan langsung dan menguatkan peran negara dalam ekonomi, menciptakan sistem yang lebih otoriter dibanding demokratis.
Prabowo sedang mempertaruhkan kredibilitas ekonomi dan politiknya dalam satu langkah besar. Jika Danantara gagal menunjukkan transparansi dan akuntabilitas, bukan hanya investor yang akan menarik diri, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah bisa runtuh. Danantara bisa menjadi mesin pertumbuhan baru bagi Indonesia, atau justru menjadi bom waktu yang mengguncang stabilitas ekonomi nasional. (XRQ)
Penulis: Akil