Menguatnya Militarisme dan Melemahnya Demokrasi di 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran

Share

NUKILAN.id | Opini – Seratus hari pemerintahan Prabowo Subianto telah cukup memberi gambaran tentang arah perjalanan Indonesia ke depan. Tanda-tanda menguatnya peran militer dalam pemerintahan semakin nyata, sementara supremasi sipil perlahan melemah. Demokrasi, yang selama satu dekade terakhir sudah mengalami degradasi, kini terancam jatuh lebih dalam ke jurang otoritarianisme.

Langkah awal pemerintahan Prabowo menunjukkan pola yang tidak bisa diabaikan. Militer kembali dilibatkan dalam berbagai urusan negara di luar perannya yang semestinya. Pengerahan tentara untuk proyek lumbung pangan, penertiban kawasan hutan, pelaksanaan program makan bergizi gratis, hingga penyelenggaraan haji menjadi contoh nyata bagaimana militer semakin merambah ranah sipil. Padahal, tugas-tugas semacam itu tidak termasuk dalam operasi militer selain perang sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Dalam lima tahun ke depan, cengkeraman militer tampaknya akan semakin kuat. Kementerian Pertahanan berencana menambah jumlah Komando Daerah Militer (Kodam) dari 15 menjadi 37 hingga 2029. Setiap tahun, pemerintah juga berencana membentuk 100 Batalion Infanteri Teritorial yang akan diberi tugas khusus, mulai dari peternakan hingga kesehatan. Lebih dari itu, batalion-batalion ini akan diperkuat oleh dua batalion komponen cadangan yang direkrut dari masyarakat sipil.

Jika revisi Undang-Undang TNI yang saat ini masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional disahkan, ruang bagi militer untuk menduduki jabatan sipil akan semakin terbuka lebar. Ini bukan sekadar penguatan peran militer, tetapi sebuah ancaman bagi demokrasi itu sendiri. Dengan semakin luasnya pengaruh tentara dalam berbagai bidang, masyarakat sipil akan semakin kehilangan ruang untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.

Demokrasi dalam Ancaman Otoritarianisme Kompetitif

Menguatnya dominasi militer hanyalah satu sisi dari ancaman terhadap demokrasi. Fenomena lain yang mengkhawatirkan adalah pola pemerintahan yang menyerupai “otoritarianisme kompetitif”—sebuah konsep yang diperkenalkan oleh ilmuwan politik Steven Levitsky dan Lucan Way. Dalam model ini, pemilihan umum tetap berlangsung, tetapi lapangan pertarungan politik dimiringkan untuk menguntungkan pihak yang berkuasa. Masyarakat masih memiliki hak pilih, tetapi pilihan mereka telah dikondisikan sebelumnya.

Tanda-tanda ke arah itu telah tampak jelas dalam Pemilihan Presiden 2024. Presiden Joko Widodo secara terang-terangan menggunakan sumber daya negara untuk memenangkan pasangan yang diinginkannya. Manuver hukum dilakukan untuk meloloskan anaknya sebagai calon wakil presiden. Aparat negara dikerahkan, bantuan sosial digelontorkan, dan pengondisian suara dilakukan jauh sebelum hari pencoblosan. Pemilihan umum yang seharusnya menjadi perwujudan demokrasi malah berubah menjadi sebuah sandiwara.

Polanya berulang dalam pemilihan kepala daerah. Kandidat-kandidat kuat dijegal, aturan main diubah mendadak, dan aparat digunakan untuk mengamankan kemenangan pihak tertentu. Fenomena ini menunjukkan bahwa otoritarianisme kompetitif bukan lagi sekadar teori atau ancaman yang jauh, melainkan kenyataan yang sedang berlangsung.

Tanpa Oposisi, Demokrasi Kian Runtuh

Saat dilantik menjadi Presiden, Prabowo langsung mengonsolidasikan kekuasaannya dengan menghimpun hampir semua partai politik ke dalam pemerintahannya. Tanpa kekuatan oposisi yang signifikan, tidak ada lagi rem yang bisa menghambat laju otoritarianisme. Demokrasi yang sudah lemah selama pemerintahan Jokowi kini semakin terpojok. Yang terjadi mungkin bukan sekadar otoritarianisme kompetitif, tetapi lebih jauh lagi: kembalinya otoritarianisme penuh dengan wajah baru.

Di tengah kondisi ini, pertanyaan besar yang harus dijawab adalah: apakah kita masih memiliki ruang untuk melawan? Apakah masyarakat sipil, media, dan kelompok pro-demokrasi bisa bertahan menghadapi gelombang ini? Atau, kita hanya akan menjadi saksi dari runtuhnya demokrasi yang sudah babak belur?

Sejarah menunjukkan bahwa otoritarianisme tidak pernah bertahan selamanya. Namun, semakin lama kita membiarkan supremasi sipil melemah, semakin sulit pula kita mengembalikan demokrasi ke jalur yang seharusnya. (XRQ)

Penulis: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News