NUKILAN.id | Banda Aceh – Tagar #KaburAjaDulu tengah ramai diperbincangkan di platform X sejak Minggu (9/2/2025) dan masih menjadi topik hangat hingga kini. Ungkapan ini mencerminkan keresahan banyak netizen terhadap kondisi di Indonesia, mendorong perdebatan tentang apakah pindah ke luar negeri adalah solusi terbaik bagi mereka yang merasa frustrasi.
Menanggapi fenomena ini, Saddam Rasaanjani, akademisi FISIP Universitas Syiah Kuala yang saat ini menempuh studi doktoral di Britania Raya, memberikan pandangannya. Ia menilai bahwa keputusan untuk pindah ke luar negeri harus dipertimbangkan secara matang dan tidak bisa menjadi solusi universal bagi setiap individu.
“Pindah ke luar negeri bisa menjadi solusi untuk individu yang mencari kesempatan lebih baik dalam hal pendidikan, pekerjaan, atau lingkungan yang lebih mendukung pengembangan diri. Namun, ini bukan solusi universal. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan, seperti kesiapan mental, keterampilan, serta adaptasi budaya dan sosial,” katanya saat dihubungi oleh Nukilan.id pada Kamis (13/2/2025).
Ia menambahkan bahwa dari pengalamannya, tinggal di luar negeri memang memberikan banyak pelajaran berharga tentang kemandirian, kerja keras, dan perspektif global. Meski demikian, ia menegaskan bahwa ada tantangan besar yang harus dihadapi.
“Tetapi, tantangan yang dihadapi juga tidak ringan, mulai dari biaya hidup yang tinggi, sistem birokrasi yang berbeda, hingga kesulitan membangun jaringan sosial,” lanjutnya.
Sebagai contoh, Saddam membandingkan pengalaman dalam mengakses layanan di Indonesia dan di Inggris. Salah satu perbedaan yang ia rasakan adalah dalam hal pelayanan kesehatan dan optik. Di Indonesia, proses mengganti kacamata bisa dilakukan dengan cepat—datang ke optik, melakukan pemeriksaan, memilih frame dan lensa, lalu mengambil kacamata dalam hitungan jam atau paling lama sehari. Namun, di Inggris, sistemnya jauh lebih lambat.
“Kita harus terlebih dahulu membuat janji dengan optik dan menyesuaikan dengan slot yang tersedia, yang bisa saja baru ada dalam tiga hari atau bahkan minggu depan. Saat pemeriksaan memang dilakukan dengan baik dan profesional, tetapi kacamata yang dipesan baru bisa selesai satu minggu ke depan,” tuturnya.
Hal serupa juga terjadi dalam pelayanan kesehatan. Ia mencontohkan pengalaman istrinya yang harus menunggu waktu cukup lama untuk mendapatkan perawatan gigi.
“Istri saya harus menunggu hingga satu bulan untuk mendapatkan layanan pemeriksaan kesehatan gigi karena memang sistem responsivitas pelayanan di sini memang lambat. Indonesia masih lebih cepat dibandingkan dengan di sini,” ungkapnya.
Dengan berbagai perbedaan ini, Saddam mengingatkan bahwa pindah ke luar negeri bukan hanya soal mencari kehidupan yang lebih baik, tetapi juga kesiapan untuk menghadapi tantangan baru.
“Jadi, keputusan ini harus diambil dengan pertimbangan yang matang, bukan sekadar respons emosional terhadap situasi di dalam negeri,” tegasnya.
Sementara perdebatan soal kabur ke luar negeri terus bergulir di media sosial, pandangan Saddam menjadi pengingat bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensi. Meninggalkan Indonesia mungkin menawarkan peluang baru, tetapi tidak serta-merta menjadi jalan keluar dari segala permasalahan. (XRQ)
Reporter: Akil