Kenapa Kita Tidak Bisa Memakai Istilah “Revenge Porn” Lagi?

Share

NUKILAN.id | Opini – Kekerasan berbasis gender (KBG) tidak hanya terjadi melalui kontak fisik atau secara verbal seperti dilecehkan ketika pergi ke pasar, disentuh sembarangan selama di kereta, atau dipukul oleh mantan pasangan. Bentuk-bentuk kekerasan yang kompleks dan berliku-liku penanganannya juga terjadi melalui teknologi digital dengan internet atau tanpa internet. Saatnya kita juga menaruh kewaspadaan pada kekerasan berbasis gender online (KBGO).

KBGO di Level Kritis

Insiden KBGO yang menghantui masyarakat berada di level kritis dan menjadi salah satu kasus yang banyak dialami oleh perempuan dan anak-anak. Laporan Pemantauan Hak Digital Triwulan 2024 oleh SAFENet, organisasi penelitian dan gerakan pembela hak-hak digital, menyatakan jika data aduan KBGO didominasi oleh korban dengan anak usia di bawah 18 tahun sebanyak 124 korban dan korban berusia 18-25 tahun sebanyak 325 korban.

Bentuk KBGO yang dialami korban tercatat terbanyak dilaporkan dengan adalah ancaman penyebaran konten intim (325 kasus), pemerasan seksual atau sextortion (158 kasus), dan penyebaran konten intim non konsensual (77 kasus). Data tersebut mengkhawatirkan mengingat adanya modus seperti manipulasi video call sex (VCS) dan korban KBGO tidak hanya dialami perempuan, tetapi juga laki-laki berpotensi mengalaminya.

Perspektif Gender dalam Merespons KBGO

Keseriusan kita terhadap KBGO dapat diawali dengan mempelajari perspektif gender dan pengetahuan yang akurat dalam merespon kekerasan yang disebabkan oleh patriarki yang mengakar di ruang digital. Istilah-istilah yang tepat dalam meningkatkan kesadaran (awareness) selama merespon KBGO ini juga membantu memperbaiki bias-bias berpikir kita dalam menanggapi isu krusial tersebut. Supaya tidak keliru atau salah paham dalam mengkritisi kasus kekerasan yang marak terjadi di ruang digital, pemakaian istilah dalam mengadvokasi isu KBGO juga perlu dilengkapi dengan perspektif gender yang kuat dan pro terhadap hak-hak korban kekerasan.

Mengapa Istilah “Revenge Porn” Bermasalah?

Salah satu solusinya, yaitu dengan mengganti penggunaan istilah “revenge porn” menjadi non consentsual dissemination of intimate image (NCII) atau disebut sebagai penyebaran konten intim non konsensual. Penggantian istilah ini lebih bijak dan berperspektif korban dengan mengedepankan pentingnya pengaruh bahasa dalam menyebarkan informasi terkait urgensi salah satu kekerasan yang rentan dialami perempuan di ruang digital yang pembuktiannya susah dilakukan oleh korban.

Dalam penelitian PurpleCode (2020) berjudul “Buku Saku KBGO: Mengenal Dasar-Dasar KBGO”, dijelaskan alasan mendasar yang krusial dalam mengkritisi penggunaan istilah revenge porn yang dianggap problematik dan menihilkan kerentanan korban yang menghadapi kejahatan pelaku di ruang digital. Pemilihan kata (diksi) revenge yang berarti balas dendam mengindikasikan seolah-olah balas dendam pelaku terhadap perbuatan korban dihalalkan dan dianggap korban pantas mendapatkan balas dendam akibat amarah pelaku.

Sedangkan, kata porn alias porno tidak tepat jika disematkan pada pengalaman korban yang menghadapi ketimpangan relasi kuasa pelaku yang sengaja memanipulasi korban agar terjebak di rencana jahatnya. Pilihan kata non consentsual dissemination of intimate image (NCII) juga mendorong masyarakat, aparat penegak hukum, dan pembuat kebijakan negara berupaya memandang kekerasan di ruang digital sebagai alarm peringatan yang harus direspon dengan sistem yang adil gender dan tidak membebankan pembuktian pada korban (secara sepihak menyudutkan korban).

Peran Media dalam Melawan KBGO

Mengkampanyekan pentingnya mengganti istilah revenge porn ke penyebaran konten intim non konsensual versi bahasa Indonesia juga menjadi tindakan penting mengkritisi media yang masih menggunakan kosakata tersebut yang memicu adanya risiko korban kembali mengalami beban ganda sebagai korban kekerasan akibat perspektif pemberitaan kasus kekerasan yang tidak pro korban.

Akibatnya, media malah melanggengkan reviktimisasi yang memperparah victim blaming. Oleh karena itu, pemilihan kata atau diksi dalam penulisan berita kasus kekerasan serta penampilan ilustrasi harus bijak sebagai upaya perlawanan terhadap patriarki di ruang digital.

  1. Konten intim yang dimanfaatkan oleh pelaku kekerasan bukan konten hiburan porno
    Ketimpangan relasi kuasa pelaku sebagai penyebab utama terjadinya KBGO perlu divalidasi sebagai unsur pelik yang memberatkan korban. Manipulasi dan status sosial yang tidak seimbang antara pelaku dengan korban secara gender, latar pendidikan, umur, pekerjaan, atau sifat hierarkis lainnya memojokkan korban pada situasi serba sulit yang menyebabkan mereka sulit mengevakuasi dirinya dari lingkaran kekerasan. Apalagi, semua konten intim yang dimanfaatkan pelaku KBGO bukan materi hiburan atau bahan konsumsi publik. Jadi, menyematkan kata “porno” pada bentuk KBGO satu ini sama sekali tidak bijak.
  2. Tidak ada unsur balas dendam sama sekali pada KBGO penyebaran konten intim non konsensual (NCII)
    Niat buruk pelaku ketika melakukan tindak kekerasan di ruang digital yang memanfaatkan konten intim korban agar disebarluaskan ke publik merupakan ancaman dan upaya mengintimidasi korban. Pelaku menakut-nakuti korban untuk membuatnya merasa bersalah (gaslighting) padahal sama sekali korban tidak pantas mendapatkan penyalahgunaan privasi seperti itu. Relasi kuasa yang menjerat korban di ruang digital juga bisa bersifat anonim (identitas yang tidak diketahui). Sehingga, menganggap kasus kekerasan berupa penyebaran konten intim non konsensual mengandung unsur balas dendam hanya memperkuat mitos-mitos kekerasan.
  3. Istilah revenge porn justru memperparah victim blaming di ruang digital.
    Penggunaan bahasa di setiap informasi yang membahas kasus kekerasan sangat penting diperhatikan karena memuat isu yang sensitif, mengandung fakta-fakta kompleks, dan berkaitan dengan kerentanan korban. Menggunakan kata revenge porn alih-alih NCII atau penyebaran konten intim non konsensual justru menormalisasi pola pikir media yang meyakinkan masyarakat seakan-akan terjadi perselisihan konflik personal.

    Padahal, setiap faktor penyebab bentuk KBGO ini sama sekali tidak ada keterlibatan korban, melainkan didasari oleh relasi kuasa pelaku yang mengancam korban.Hal ini juga termasuk upaya pelanggaran privasi korban sebagai tindak kekerasan untuk memperdaya korban. Memakai revenge porn juga merepresentasikan sikap media yang tidak pro terhadap korban. Makanya, sudah saatnya media memiliki prinsip pemberitaan yang adil gender dan berpihak pada korban sebagai upaya melawan kekerasan.

  4. Istilah NCII (penyebaran konten intim non konsensual) menyadarkan kita pentingnya privasi sebagai isu feminis
    Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurtjahyo L.I (2024) melalui Jurnal Perempuan, persoalan kasus penyebaran konten intim non konsensual juga perlu dikritisi sebagai “darurat pelanggaran privasi” dalam ruang digital akibat kurangnya sistem hukum dan kebijakan digital yang mampu menindak tegas modus pelaku KBGO. Mengingat aturan hukum yang membahas permasalahan digital seperti kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) melalui UU TPKS No 12 Tahun 2022 masih belum spesifik menjawab seluruh permasalahan yang dialami korban KBGO.

    Bentuk-bentuk KBGO seperti manipulasi foto (deepfake), ancaman pemerkosaan, penyebaran informasi melalui pinjaman online, penyebaran informasi pribadi dengan foto, dan impersonating (membuat akun tiruan bertujuan fitnah dengan narasi “open BO” seolah-olah menjadi pekerja seks yang menawarkan jasanya melalui internet) belum diatur mendetail di UU TPKS. Terlebih lagi, realitanya prosedur pelaporan jika  mengalami kekerasan seksual atau bahkan mengalami pelanggaran hak-hak digital, masyarakat masih belum memahami sepenuhnya. Sehingga, perspektif gender yang adil dan setara dalam sistem hukum dibutuhkan supaya mampu mengakomodir realita-realita perempuan korban KBGO.

    Privasi sebagai salah satu hak mendasar setiap perempuan masih menjadi faktor rentan diserang di ruang digital. Apalagi, pelanggaran hak-hak privasi seperti rasa aman, data terlindungi, bebas dari ancaman, dan risiko ketimpangan relasi kuasa digital lainnya menyadarkan kita betapa krusialnya privasi sebagai isu feminis, salah satunya sebagai perebutan hak-hak kontrol terhadap berbagai akses di internet yang masih didominasi oleh patriarki yang ekosistemnya sering mengobjektifikasi perempuan, alih-alih menganggap perempuan sebagai subjek yang punya kendali penuh terhadap berbagai akses di internet.

Penulis: Gusti Ayu Made Kayika (Kontributor riset dan advokasi media Savy Amira WCC Surabaya)

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News