Guyonan yang beredar di media sosial sempat membuat banyak orang tersenyum: “Kalau hasil korupsi Rp300 triliun cuma dihukum 6,5 tahun, banyak yang rela antre di penjara.” Namun, guyonan tersebut menyimpan kenyataan pahit yang tidak bisa dianggap sepele. Korupsi bukan hanya soal uang yang digelapkan, melainkan suatu bentuk kejahatan yang merusak integritas bangsa, menciptakan ketidakadilan, dan menggerogoti sendi-sendi negara.
Penting untuk disadari, bahwa hukuman yang tegas terhadap pelaku korupsi adalah kunci dalam menciptakan efek jera. Di negara-negara tertentu, hukuman berat menjadi ancaman yang nyata. Contohnya, di China, kasus korupsi terbesar di sektor finansial yang melibatkan Lai Xiaomin, mantan kepala China Huarong Asset Management Co, menunjukkan bahwa tidak ada toleransi untuk korupsi dalam skala besar. Lai Xiaomin dijatuhi hukuman mati pada Januari 2021 setelah terbukti menerima suap sebesar 1,8 miliar yuan atau sekitar Rp4,5 triliun.
Tentu saja, hukuman yang keras bukan satu-satunya faktor pencegah korupsi. Penelitian dari Dan Ariely, ekonom dan psikolog dari Universitas Duke, mengungkapkan bahwa keinginan untuk melakukan korupsi akan berkurang jika dua faktor dipenuhi. Pertama, ketika risiko tertangkap semakin besar, dan kedua, ketika orang yakin bahwa hukuman yang dijatuhkan semakin berat.
Ironisnya, di Indonesia, hukuman ringan terhadap koruptor seolah menjadi hambatan bagi pemberantasan korupsi yang efektif. Pada tahun 2020, Indonesia mengalami penurunan signifikan pada Indeks Pemberantasan Korupsi (IPK), dengan skor anjlok tiga poin menjadi 37. Hal ini menyebabkan peringkat Indonesia turun drastis, dari posisi 85 menjadi 102 dari 180 negara, sejajar dengan Gambia.
Penurunan tersebut tidak berhenti di situ. Pada tahun 2021, Indonesia mencatatkan sedikit kenaikan dengan skor 38, namun pada 2022, skor kembali terjun bebas ke angka 34. Yang lebih mencengangkan, skor ini tidak berubah hingga 2023 dan 2024, mencerminkan stagnasi dalam upaya pemberantasan korupsi. Skor tersebut bahkan kembali ke titik yang sama saat Presiden Joko Widodo memulai pemerintahannya pada 2014, menunjukkan betapa permasalahan korupsi masih menjadi tantangan besar yang belum teratasi.
Hal ini menunjukkan bahwa kita belum belajar banyak dari masa lalu. Sepuluh tahun setelah Jokowi menjabat pada 2014, skor IPK kembali ke titik awal, seolah reformasi anti-korupsi berjalan di tempat. Lalu, apa yang salah?
Tiga lembaga besar yang memiliki peran strategis dalam memerangi korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Kepolisian (Polri), masih menghadapi tantangan besar dalam menjalankan tugas mereka. Salah satu kendala utama yang sering kali menghambat efektivitas penegakan hukum adalah ego sektoral yang tinggi antar lembaga.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, dalam sebuah kesempatan pernah menyampaikan bahwa “ego sektoral antara KPK, Kejagung, dan Polri seringkali menghambat koordinasi dan supervisi dalam penegakan hukum.” Kondisi ini terlihat jelas dalam berbagai kasus besar, seperti kasus Jiwasraya, di mana skandal manipulasi laporan keuangan dan pengelolaan investasi yang buruk mengguncang dunia usaha.
Meskipun KPK berhasil menangkap beberapa tokoh penting seperti Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat dalam kasus tersebut, proses penegakan hukum terhambat oleh kurangnya koordinasi yang baik antara KPK, Kejagung, dan Polri. Setiap lembaga tampak lebih fokus pada kepentingan, wewenang, dan prestise institusinya masing-masing, ketimbang tujuan bersama untuk menegakkan hukum secara efektif.
Contohnya, ketika KPK menangkap seorang jaksa yang terlibat dalam kasus Jiwasraya, Kejagung seakan menutup pintu untuk berkoordinasi dan enggan bekerja sama. Hal ini membuat penegakan hukum menjadi lambat dan kurang optimal.
Kasus lain yang memperburuk kondisi ini adalah kasus Bank Century, yang juga memperlihatkan bagaimana kegagalan koordinasi antar lembaga dapat memperlambat penyelesaian kasus. Ego sektoral yang tinggi dan kurangnya kerjasama membuat penanganan kasus menjadi tidak efektif dan kurang tepat sasaran.
“Ada tiga lembaga, KPK, Polri, Kejaksaan, memang di dalam UU KPK yang lama maupun yang baru, ada fungsi koordinasi dan supervisi ya, apakah berjalan dengan baik? Harus saya sampaikan bapak/ibu sekalian, tidak berjalan dengan baik,” tambah Alexander, baru-baru ini.
Hal ini menjadi alasan kuat mengapa reformasi struktural di ketiga lembaga ini sangat dibutuhkan. Menurutnya, perbaikan harus segera dilakukan untuk memastikan lembaga-lembaga tersebut dapat bekerja lebih efektif dan efisien. Salah satu langkah yang disarankan adalah penambahan regulasi yang lebih jelas, yang akan mengurangi ambiguitas dalam penegakan hukum.
Selain itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) juga menjadi salah satu prioritas utama. Dengan SDM yang lebih kompeten, ketiga lembaga ini diharapkan mampu mengelola kasus-kasus korupsi dengan lebih efisien dan efektif.
Korupsi, dalam definisi Merriam-Webster versi online, tidak hanya merujuk pada perilaku tidak jujur atau ilegal yang dilakukan oleh orang-orang berkuasa, tetapi juga bisa diartikan sebagai dorongan untuk melakukan kesalahan dengan cara yang tidak pantas atau melanggar hukum. Namun, lebih jauh lagi, korupsi memiliki konotasi yang lebih mendalam, yaitu pembusukan dan dekomposisi. Ini adalah proses perubahan kimia yang menyebabkan objek—terutama makhluk hidup yang telah mati—mengalami perusakan struktur, baik melalui pengurai alami seperti semut, belatung, bakteri, maupun jamur.
Analogi ini menggambarkan betapa berbahayanya korupsi jika tidak segera ditangani. Pembusukan yang dimaksud bukan hanya terjadi pada individu atau lembaga yang terlibat dalam praktik korupsi, tetapi juga pada tubuh negara itu sendiri. Tanpa ada upaya yang maksimal dalam melakukan reformasi pada lembaga-lembaga negara seperti KPK, Polri, Kejaksaan, dan lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir, negara akan semakin rapuh.
Kondisi ini, jika dibiarkan, akan menciptakan sistem yang tidak terkoordinasi dengan baik, bahkan saling melindungi dan melemahkan satu sama lain. Jika penegakan hukum terus berjalan tanpa konsistensi dan komitmen yang jelas, pembusukan akan semakin meluas, dan perjuangan untuk memberantas korupsi hanya akan menjadi perjuangan yang sia-sia.
Pemberantasan korupsi, seharusnya, tidak hanya berfokus pada langkah-langkah yang tampak di permukaan. Sebagaimana disebutkan dalam istilah yang kerap diucapkan oleh publik, pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan tindakan nyata dan tujuan yang jelas. “Pemberantasan korupsi butuh komitmen dan konsistensi mewujudkan tujuan serta tindakan nyata agar tidak sekadar lip service.” Jika langkah-langkah pemberantasan terus terhambat, seperti yang terlihat pada vonis ringan terhadap terdakwa korupsi seperti Harvey Moeis, maka harapan untuk mengatasi korupsi pun akan semakin sulit tercapai.
Jika negara terus dilanda pembusukan karena korupsi, maka kita perlu bertindak tegas, bukan hanya sekadar memberi harapan kosong. (XRQ)