Kelapa Sawit dan Logika Keliru Presiden Prihal Deforestasi

Share

NUKILAN.id | Opini – Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) pada Senin, 30 Desember 2024, memantik diskusi hangat di ruang publik. Dalam pidatonya, Prabowo menegaskan bahwa kelapa sawit adalah komoditas strategis yang membuat banyak negara khawatir akan kehabisan pasokan. Lebih jauh, ia menyatakan keinginannya untuk memperluas area penanaman kelapa sawit di Indonesia.

Presiden juga menyampaikan pandangan kontroversial terkait isu lingkungan. Menurutnya, tuduhan bahwa perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab utama deforestasi adalah tidak berdasar karena sawit tetaplah pohon yang memiliki daun dan menyerap karbon dioksida. “Jangan takut dengan tuduhan deforestasi. Kelapa sawit itu pohon, ada daun, dan menyerap karbon dioksida. Jadi, tuduhan seperti itu tidak berdasar,” ujar Prabowo.

Pernyataan ini, bila tidak dikoreksi, dapat menyesatkan pemahaman publik dan mencederai upaya perlindungan lingkungan yang sudah diatur dalam berbagai regulasi. Logika yang menyamakan pohon kelapa sawit dengan pohon hutan dalam peran ekologisnya adalah kekeliruan yang mendasar. Sebagai contoh, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.23/2021 secara eksplisit menyebutkan bahwa kelapa sawit bukanlah tanaman yang dimasukkan dalam kategori rehabilitasi hutan dan lahan.

Indonesia telah memiliki hamparan perkebunan kelapa sawit yang sangat luas. Data terbaru menunjukkan bahwa luas lahan sawit kita telah mencapai lebih dari 16 juta hektare. Dengan luas tersebut, bukan lagi saatnya berbicara tentang memperluas lahan perkebunan, melainkan bagaimana meningkatkan produktivitas kebun yang sudah ada melalui intensifikasi dan praktik berkelanjutan.

Peningkatan produksi dengan metode intensifikasi dapat dicapai melalui peremajaan tanaman yang sudah tua, penerapan teknologi pertanian yang lebih baik, dan pengelolaan sumber daya yang efisien. Sebaliknya, ekspansi lahan sawit hanya akan memperburuk deforestasi, menambah emisi karbon, dan merusak ekosistem yang kaya akan keanekaragaman hayati.

Penting untuk diingat bahwa hutan bukan sekadar sekumpulan pohon yang menyerap karbon dioksida. Hutan adalah rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna. Pengalihfungsian hutan menjadi perkebunan sawit mengancam habitat satwa liar, meningkatkan potensi konflik manusia-satwa, dan menyebabkan kepunahan spesies yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

Presiden seharusnya mengacu pada kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah sendiri. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan adalah komitmen yang patut ditegakkan. Kebijakan ini menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

Mendorong perluasan lahan sawit bertentangan dengan semangat pembangunan berkelanjutan yang ingin dicapai. Keberlanjutan bukan hanya tentang menghitung karbon yang diserap, melainkan tentang menjaga warisan ekologi dan budaya yang hidup di dalam hutan-hutan kita.

Pernyataan Presiden Prabowo dalam Musrenbangnas patut dikritisi sebagai bagian dari tanggung jawab kolektif untuk menjaga narasi kebijakan yang berbasis sains dan fakta. Menyederhanakan fungsi ekologis sawit setara dengan pohon hutan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang berisiko tinggi bagi lingkungan hidup.

Di saat dunia semakin serius menghadapi perubahan iklim, Indonesia harus mengambil posisi yang lebih bijaksana. Kelapa sawit memang penting bagi ekonomi nasional, tetapi keberlanjutan planet jauh lebih bernilai. Kini saatnya kita menegaskan bahwa pembangunan sejati adalah yang selaras dengan alam dan berpihak pada generasi mendatang. (XRQ)

Penulis: Akil

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News