NUKILAN.id | Opini – Indonesia kembali diguncang dengan pengumuman yang memalukan menjelang pergantian tahun 2024. Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang menjabat sejak 2014, menduduki urutan ketiga dalam daftar “Tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi” versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), sebuah konsorsium jurnalis investigasi global. Posisi ini menempatkannya di bawah mantan Presiden Surya Basar Alasad dan Presiden Kenya William Ruto. Ini adalah kali pertama dalam sejarah Indonesia, seorang mantan presiden masuk dalam daftar semacam ini.
Bagi sebagian kalangan, kabar ini tentu sangat memalukan. Jokowi, yang selama ini dipandang sebagai sosok yang memimpin negara dengan “bersih” dan penuh pengabdian, kini terlibat dalam pencemaran citra yang tak terelakkan. Apalagi, dalam daftar tersebut turut disorot pemimpin negara besar seperti William Ruto dan Ahmed Bola Tinubu yang juga menghadapi tuduhan serupa. Keberadaan Jokowi dalam deretan nama tersebut memperlihatkan sisi gelap kekuasaannya yang tak terhindarkan, dan menjadi sinyal bahwa korupsi di Indonesia sudah merajalela.
Namun, upaya untuk menanggapi hasil survei ini dengan menafikan dan menyerang kredibilitas OCCRP adalah langkah yang keliru. Tak sedikit pendukung Jokowi, termasuk partai politik seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dikelola oleh anak Jokowi, Kaisang Pangarep, yang mencoba untuk meredam pemberitaan tersebut dengan klaim-klaim yang tidak berdasar. Mereka bahkan menyebarkan narasi bahwa nama Jokowi telah dihapus dari daftar, sebuah informasi yang terbukti salah.
Harus diakui bahwa pemilihan Jokowi dalam daftar ini bukan sekadar hal yang didasari oleh isu-isu spekulatif atau tuduhan tanpa bukti. Proses seleksi yang dilakukan oleh OCCRP melibatkan lebih dari 55.000 partisipan dari seluruh dunia. Dari jumlah itu, lebih dari 7.500 orang menominasikan Jokowi sebagai tokoh korup. Seleksi lebih lanjut dilakukan oleh panel juri yang terdiri dari jurnalis investigasi berkompeten. Dalam hal ini, keputusan OCCRP bisa dianggap sahih, terutama mengingat kredibilitas lembaga tersebut dalam mengungkap kejahatan terorganisasi dan korupsi di seluruh dunia.
Sebagai pemimpin negara selama dua periode, Jokowi dinilai telah menimbulkan kerusakan besar dalam struktur kehidupan bernegara di Indonesia. Korupsi yang terjadi di bawah kepemimpinannya tidak hanya terbatas pada penggelapan dana negara, tetapi juga mencakup bentuk lain yang merusak demokrasi dan prinsip-prinsip keadilan. Salah satunya adalah praktik nepotisme yang terang-terangan, terutama dengan menjadikan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon pejabat publik di pemerintahan, meski ada tudingan bahwa kemenangan Gibran tidak terlepas dari manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Pemilu 2024 bahkan digambarkan sebagai “pesta demokrasi terburuk” dalam sejarah Indonesia pasca-reformasi. Lembaga penyelenggara Pemilu yang seharusnya netral, diintervensi demi menguntungkan anak Jokowi. Penyalahgunaan bantuan sosial dan pengerahan aparatur negara untuk memenangkan Gibran, seharusnya sudah cukup untuk membawa Jokowi dan pendukungnya ke ranah hukum, sebagai bentuk kejahatan terorganisasi dan korupsi yang jelas. Ironisnya, mereka yang kini berupaya membela Jokowi adalah mereka yang sebelumnya menggunakan data hasil kerja OCCRP dalam menyerang oposisi, termasuk Prabowo Subianto, yang juga terpapar dalam Panama Papers.
Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya peran dunia internasional dalam menilai kepemimpinan Jokowi. Mengabaikan penilaian tersebut hanya akan memperburuk citra Indonesia di kancah internasional. Tidak ada lagi ruang bagi pembelaan diri yang sia-sia, karena Jokowi dan pendukungnya seakan berusaha menepuk air di dulang, membantah kenyataan yang sudah sangat jelas.
Keputusan OCCRP untuk menempatkan Jokowi dalam daftar tokoh korup 2024 bukanlah tanpa dasar. Survei global yang melibatkan partisipasi publik ini adalah cerminan dari kegelisahan masyarakat dunia terhadap perkembangan Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi. Bahkan, jika kita melihat sejarah kebijakan dan praktik yang diciptakannya, kita harus bertanya-tanya: apakah kita benar-benar ingin melanjutkan warisan pemerintahan yang buruk ini? Saatnya bagi rakyat Indonesia untuk belajar dari respons masyarakat Kenya terhadap hasil survei tersebut. Alih-alih menolak atau membela, mereka justru memilih untuk mencermati dan menganalisis laporan itu secara bijaksana.
Kini, bukan hanya Jokowi yang sedang menghadapi sorotan dunia, tetapi juga Indonesia yang harus siap menerima kenyataan bahwa pemerintahan yang ada telah mengorbankan banyak hal demi mempertahankan kekuasaan. Bahkan jika ini berarti menghancurkan prinsip-prinsip dasar demokrasi yang seharusnya kita junjung tinggi. Jika Jokowi ingin mengakhiri masa jabatannya dengan penuh kehormatan, ia harus bersedia menerima konsekuensi dari tindakan-tindakannya dan menghadapi kenyataan pahit yang datang dengan gelar “tokoh kejahatan terorganisasi dan korupsi.” (XRQ)
Penulis: Akil