NUKILAN.id | Jakarta — Ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat tumpah ruah memenuhi jalan-jalan utama ibu kota. Teriakan tuntutan menggema, membawa semangat perlawanan yang berakar dari keresahan terhadap kebijakan ekonomi yang dianggap memihak modal asing. Hari itu, sejarah mencatat sebuah tragedi yang kelak dikenang sebagai Malapetaka Lima Belas Januari atau Malari.
Lalu, apa yang memicu terjadinya peristiwa ini? Nukilan.id menelusuri berbagai sumber untuk mengungkap sejarah di balik kejadian tersebut. Diketahui, peristiwa Malari bermula sehari sebelum puncak kerusuhan, tepatnya pada 14 Januari 1974, ketika Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Kehadirannya memicu protes mahasiswa yang telah lama mengkritik dominasi Jepang dalam perekonomian Indonesia. Bagi mereka, investasi besar yang dibawa Tanaka hanyalah simbol dari semakin menguatnya cengkeraman modal asing yang memperlebar kesenjangan sosial.
Keesokan harinya, pada 15 Januari, aksi yang semula damai berubah menjadi kerusuhan besar. Ribuan massa berkumpul di Jakarta, menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang dianggap terlalu berpihak kepada kepentingan asing. Kericuhan tak terhindarkan. Gedung-gedung dan kendaraan dibakar, toko-toko dijarah, dan fasilitas umum dirusak. Aparat keamanan yang semula berjaga-jaga akhirnya terlibat bentrok dengan para demonstran.
Penyebab dan Tuntutan Mahasiswa
Ada beberapa faktor yang memicu meletusnya Peristiwa Malari:
- Kunjungan Perdana Menteri Jepang: Kakuei Tanaka dilihat sebagai simbol kapitalisme asing yang menggurita di Indonesia. Kebijakan investasi besar-besaran dari Jepang dianggap merugikan rakyat kecil.
- Kebijakan Ekonomi Orde Baru: Pemerintahan Presiden Soeharto dituduh terlalu berpihak pada investor asing, meninggalkan kepentingan rakyat dalam pengambilan keputusan ekonomi.
- Ketidakpuasan Mahasiswa: Suara mahasiswa yang terus-menerus menuntut perubahan kebijakan ekonomi dan penghapusan Asisten Pribadi Presiden (Aspri) tidak mendapat respons yang memuaskan dari pemerintah.
Pada aksi 15 Januari, tuntutan mahasiswa jelas: hentikan pengaruh Aspri Presiden Soeharto dalam pemerintahan dan kaji ulang kebijakan ekonomi yang pro-asing. Namun, jalan menuju perubahan itu berliku dan penuh darah.
Dampak dan Penindasan Pasca-Malari
Sebagai buntut dari kerusuhan tersebut, sebanyak 775 orang ditangkap. Di antara mereka, ada nama-nama besar seperti Hariman Siregar, Yap Thiam Hien, Mochtar Lubis, Rahman Tolleng, dan Aini Chalid. Mereka adalah simbol perlawanan intelektual terhadap kebijakan yang dianggap menindas rakyat kecil.
Penangkapan para aktivis menandai babak baru dalam politik Indonesia di bawah Orde Baru. Kebebasan berpendapat semakin ditekan, media massa diawasi ketat, dan organisasi mahasiswa dipinggirkan. Kebijakan represif ini memperuncing hubungan antara pemerintah dan kelompok kritis, menciptakan ketegangan yang terus bergulir selama bertahun-tahun.
Pelajaran dari Malapetaka 15 Januari
Malari bukan hanya sebuah tragedi kerusuhan yang merusak fasilitas umum dan menghancurkan kehidupan banyak orang. Di balik kepulan asap dan reruntuhan bangunan, ia menyisakan pesan penting tentang hubungan antara kekuasaan, rakyat, dan demokrasi.
Semangat mahasiswa yang berani menantang kebijakan pemerintah mengingatkan bahwa suara rakyat harus selalu didengar. Meskipun berakhir dengan kekerasan, peristiwa ini menjadi inspirasi bagi generasi penerus untuk terus memperjuangkan keadilan sosial dan hak demokratis. Malari adalah pengingat bahwa pembangunan ekonomi tanpa memperhatikan kepentingan rakyat dapat menjadi bara yang sewaktu-waktu membakar stabilitas negara.
Setengah abad berlalu sejak Malari mengguncang Jakarta, tetapi pelajarannya tetap relevan. Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang dialog yang terbuka dan responsif terhadap kritik. Tragedi 15 Januari 1974 adalah pelajaran mahal, tetapi juga warisan sejarah yang patut dikenang agar tidak terulang di masa depan. (xrq)
Reporter: Akil