NUKILAN.id | Opini – Pidato Megawati Soekarnoputri dalam peringatan ulang tahun ke-52 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengundang reaksi beragam dari publik. Sebagian warganet menganggap ucapan terima kasihnya sebagai hal wajar, tetapi tidak sedikit pula yang mencermati kesalahan besar dalam pernyataan tersebut.
Dalam pidatonya yang penuh emosi, Megawati, dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca, menyampaikan rasa terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto atas pencabutan Tap MPRS Nomor 33 Tahun 1967. Ia menekankan bahwa pemulihan nama baik Bung Karno setelah bertahun-tahun ternodai oleh tuduhan tak terbukti adalah momen yang amat bermakna baginya.
Namun, di sinilah letak kejanggalannya. Pencabutan Tap MPRS tersebut bukanlah capaian di bawah kepemimpinan Prabowo, melainkan dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Fakta bahwa Megawati menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak yang keliru menimbulkan tanda tanya besar: apakah ini murni kekeliruan atau disengaja sebagai bagian dari narasi politik?
Kegagalan Mengakui Peran Jokowi
Keputusan untuk mencabut Tap MPRS yang mendiskreditkan Sukarno adalah bagian dari upaya pemerintahan Jokowi dalam merekonsiliasi sejarah nasional dan mengoreksi ketidakadilan politik masa lalu. Sebagai pemimpin partai yang mengusung Jokowi sejak awal karier politiknya di tingkat nasional, seharusnya Megawati lebih memahami peran penting presiden ke-7 Republik Indonesia dalam pencabutan regulasi tersebut.
Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam pidato yang seharusnya bisa menjadi momen persatuan, fakta sejarah dipelintir. Apakah mungkin Megawati tidak tahu? Bisa jadi ia hanya membaca pidato yang disiapkan, tetapi dalam politik, kelalaian semacam itu sulit dianggap sebagai kebetulan. Sikap mengabaikan kontribusi Jokowi yang jelas dan menggantinya dengan apresiasi kepada Prabowo adalah contoh nyata dari “cherry picking”—memilih fakta yang disukai dan menutup mata terhadap kebenaran lainnya.
Ketegangan di Balik Panggung Politik
Hubungan antara Jokowi dan Megawati memang telah lama menunjukkan retak-retak yang semakin nyata, terutama setelah Pilpres 2024. Keputusan Jokowi mendukung putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo, memicu rasa kecewa di kalangan PDIP. Banyak yang berpendapat bahwa Megawati merasa dikhianati, mengingat dukungan partai terhadap Jokowi sejak masa pencalonan Wali Kota Solo.
Namun, politik bukanlah urusan personal. Hubungan politik dibangun di atas kepentingan strategis, bukan balas budi. Mengedepankan kekecewaan pribadi di atas kepentingan negara hanya akan memperburuk suasana politik yang sudah penuh konflik.
Fokus pada Isu yang Lebih Besar
Daripada terjebak dalam drama politik yang tidak produktif, lebih baik perhatian dialihkan pada tantangan besar yang dihadapi bangsa. Ketahanan ekonomi, perubahan iklim, dan penguatan infrastruktur adalah isu-isu krusial yang membutuhkan perhatian penuh dari seluruh elemen politik.
Megawati adalah tokoh senior yang dihormati dalam sejarah politik Indonesia. Sebagai negarawan, ia seharusnya memimpin dengan memberikan contoh keteladanan, bukan memelihara konflik yang memperburuk polarisasi masyarakat. Masyarakat saat ini semakin cerdas dan mampu menilai mana politisi yang bekerja untuk rakyat dan mana yang hanya sibuk menciptakan drama.
Menuju Politik yang Dewasa
Mengabaikan peran Jokowi dalam pencabutan Tap MPRS hanya menegaskan ketidakdewasaan politik. Terus menerus mencari kambing hitam dan memainkan politik simbolik tanpa dasar fakta dapat merusak kredibilitas politik itu sendiri.
Di tengah ketidakpastian global dan tantangan dalam negeri, stabilitas politik adalah prasyarat mutlak bagi kemajuan bangsa. Mengorbankan kepentingan negara demi dendam politik pribadi atau partai adalah langkah mundur yang tidak seharusnya terjadi. Kepemimpinan yang mampu menjembatani perbedaan adalah kunci, dan dalam hal ini, kita semua berharap lebih banyak kebijaksanaan dari para tokoh senior.
Bangsa ini membutuhkan politik yang berfokus pada solusi, bukan drama. Sudah saatnya elit politik memikirkan masa depan dengan semangat persatuan, demi Indonesia yang lebih baik. (XRQ)
Penulis: Akil