Gerakan Masyarakat Sipil dan Perlawanan Demokrasi di Tengah Tantangan

Share

NUKILAN.id | Opini – Indonesia, meskipun menghadapi gejolak politik yang memprihatinkan, masih berdiri tegak berkat kekuatan kelompok masyarakat sipil yang gigih menjaga fondasi demokrasi. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan berbagai upaya represif yang dilakukan oleh penguasa, mulai dari pembungkaman suara kritis hingga ancaman terhadap sistem demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah. Namun, meski dalam tekanan, kelompok masyarakat sipil terus bergerak, berjuang untuk melawan kesewenang-wenangan dan menjaga agar Indonesia tetap berada pada jalur demokrasi yang bermartabat.

Edisi khusus mingguan ini menyoroti peran penting mereka: bukan sosok individu, tetapi kelompok yang memiliki tekad untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Masyarakat sipil ini terdiri dari berbagai elemen, mulai dari dosen, masyarakat adat, selebritas, hingga ibu rumah tangga, yang bersatu padu dengan segala keterbatasannya dalam menghadapi disinformasi yang terus berkembang di tengah kepungan para pendengung dan aparat hukum yang semakin represif. Mereka menyuarakan pentingnya supremasi hukum, demokrasi, dan keadilan sosial di tanah air.

Salah satu contoh konkret gerakan perlawanan ini adalah Gerakan 22 Agustus 2024, yang berhasil menggagalkan upaya licik anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berusaha mengubah undang-undang pemilihan kepala daerah. Gerakan ini adalah bukti nyata bahwa meskipun ada ketidakpastian dan perpecahan dalam masyarakat, suara rakyat masih bisa didengar. Aksi massa yang terorganisir ini berhasil menggagalkan rencana DPR yang ingin mengesahkan undang-undang yang memungkinkan kekuasaan politik terpusat di tangan segelintir elit politik.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 20 Agustus 2024 menjadi langkah penting dalam membatasi kekuasaan politik yang cenderung otoriter. Dengan mengubah ambang batas suara partai dari 20% menjadi 7,5%, MK membuka peluang lebih besar bagi partai-partai kecil dan calon-calon kepala daerah yang lebih dekat dengan aspirasi rakyat, bukan hanya segelintir elit politik. Ini adalah kemenangan besar bagi demokrasi Indonesia. Namun, kemenangan ini juga menunjukkan bahwa perlawanan terhadap otokrasi berkedok demokrasi tidak dapat diandalkan hanya dalam satu peristiwa atau aksi besar. Gerakan ini harus terus diperkuat dan diperjuangkan secara konsisten di setiap lini kehidupan politik, sosial, dan budaya.

Namun, meski ada perlawanan, gerakan masyarakat sipil masih terpecah belah. Tidak adanya pemimpin tunggal dan narasi yang solid menjadi tantangan besar bagi mereka. Gerakan ini seringkali terjebak dalam ketidakjelasan tujuan bersama, dengan banyak kelompok yang bekerja secara terpisah dalam isu-isu yang tidak selalu terkait. Dalam kondisi seperti ini, kekuatan elit politik seringkali berhasil memanfaatkan ketidakpastian ini untuk mengamankan posisi mereka, dengan mengedarkan disinformasi melalui media sosial dan menebar kebingungan di kalangan publik.

Salah satu contoh nyata adalah film “Dirty F” yang mengungkapkan skenario kotor di balik pemilihan presiden yang diselenggarakan pada Februari lalu. Walaupun film ini telah menonton hampir 10 juta orang, bukti yang dipaparkan gagal menggagalkan kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang didorong oleh operasi politik besar-besaran dan aliran bantuan sosial yang masif menjelang pemilihan. Meskipun narasi dalam film ini cukup menggugah, publik terperangkap dalam pilihan antara dua narasi yang saling bertentangan: satu yang dihadirkan oleh kekuatan politik yang dominan, dan satu lagi yang dibela oleh kelompok masyarakat sipil yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Sebagai bagian dari dinamika ini, penting untuk memahami bahwa perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa memerlukan lebih dari sekedar protes atau aksi demonstrasi. Perlawanan yang efektif memerlukan kesatuan tujuan, strategi yang terencana, dan kemampuan untuk melawan manipulasi media yang dapat mereduksi esensi perlawanan itu sendiri. Gerakan masyarakat sipil yang solid adalah gerakan yang tahu kapan harus bersatu dan kapan harus melawan.

Namun, tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat sipil saat ini adalah ketidakpastian politik yang ditimbulkan oleh kebijakan-kebijakan kontroversial pemerintahan Prabowo Subianto. Dengan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan akal sehat, seperti rencana kerja sama dengan Tiongkok yang mengancam kedaulatan Indonesia dan rencana amnesti untuk koruptor, banyak pihak yang khawatir Indonesia akan jatuh ke dalam tangan mereka yang berusaha mengembalikan sistem politik otoriter. (XRQ)

Penulis: Akil Rahmatillah

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News