Dua Dekade Tsunami Aceh: Kemana Perginya Triliunan Dana?

Share

NUKILAN.id | Opini – Tidak terasa, hampir 20 tahun telah berlalu sejak tsunami dahsyat mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004. Dunia menangis bersama Aceh, dan bantuan kemanusiaan pun mengalir dari berbagai penjuru. Tidak hanya itu, momentum bencana ini juga menjadi jalan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah RI, yang selama puluhan tahun saling bertikai. Namun, di balik semua itu, pertanyaan besar terus menghantui: mengapa Aceh masih terbelenggu kemiskinan meski telah menerima triliunan rupiah dana internasional dan dana otonomi khusus (Otsus)?

Pasca-tsunami, Aceh menjadi pusat perhatian dunia. Dana internasional lebih dari Rp 60 triliun digelontorkan untuk rekonstruksi dan rehabilitasi. Belum lagi dana Otsus yang terus mengalir sejak 2008, yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp 100 triliun hingga kini. Jumlah yang sangat fantastis untuk provinsi yang dihuni sekitar lima juta jiwa.

Namun, fakta di lapangan jauh dari ekspektasi. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Aceh masih menjadi yang tertinggi di Sumatera dan bahkan salah satu yang tertinggi di Indonesia. Infrastruktur memang telah banyak dibangun, tetapi kesenjangan sosial, pengangguran, dan kemiskinan struktural tetap mengakar kuat.

Salah satu isu yang sering disorot adalah pengelolaan dana yang tidak transparan dan penuh praktik korupsi. Sejumlah pejabat Aceh terjerat kasus hukum terkait penyalahgunaan dana Otsus dan rekonstruksi pasca-tsunami. Dana yang seharusnya digunakan untuk memberdayakan masyarakat malah habis untuk proyek-proyek mercusuar tanpa manfaat signifikan bagi rakyat.

Selain itu, banyak program bantuan pasca-tsunami yang hanya bersifat jangka pendek. Bantuan rumah, misalnya, sering kali diberikan tanpa pendampingan ekonomi yang memadai sehingga banyak penerima akhirnya kembali terjerat kemiskinan.

Pemimpin Aceh pasca-damai sering kali gagal memanfaatkan momentum untuk membangun tata kelola pemerintahan yang bersih dan efektif. Alih-alih mengutamakan pemberdayaan rakyat, fokus lebih banyak diberikan pada kepentingan politik dan kelompok tertentu. Kebijakan yang dikeluarkan pun kerap kurang tepat sasaran, dengan minimnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan.

Untuk keluar dari belenggu kemiskinan, Aceh membutuhkan pendekatan baru yang lebih strategis dan berkelanjutan. Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana harus menjadi prioritas utama. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap rupiah yang masuk digunakan untuk program-program yang benar-benar berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, pemberdayaan ekonomi lokal harus menjadi fokus utama. Aceh memiliki potensi besar di sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata. Pengembangan sumber daya manusia juga menjadi kunci penting agar masyarakat mampu memanfaatkan peluang yang ada.

Menjelang dua dekade tsunami Aceh, sudah saatnya semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, melakukan refleksi mendalam. Tragedi ini seharusnya menjadi titik balik untuk memperbaiki nasib Aceh, bukan sekadar momentum mengenang duka. Jika pengelolaan dana tidak segera diperbaiki, maka bantuan triliunan rupiah yang sudah mengalir hanya akan menjadi catatan kelam dalam sejarah Aceh.

Kini, pertanyaan itu tetap relevan: kemana perginya dana triliunan rupiah itu? Dan apakah kita akan terus membiarkan kemiskinan menjadi wajah Aceh yang baru? Jawabannya ada pada tindakan kita semua, sebelum sejarah kembali menghakimi.  (XRQ)

Penulis: Akil Rahmatillah

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News