NUKILAN.id | Banda Aceh – Kasus yang melibatkan Miftah Maulana Ibrahim, mantan Utusan Khusus Presiden yang belakangan dianggap menghina pedagang es teh, memunculkan wacana baru terkait pentingnya sertifikasi penceramah agama di Indonesia. Wacana tersebut dilontarkan oleh sejumlah anggota DPR, yang menilai sertifikasi ini bisa menjadi cara untuk memastikan para pendakwah memiliki kapasitas yang memadai dalam menyampaikan nilai-nilai keagamaan kepada masyarakat.
Namun, meski mendapat dukungan dari berbagai kalangan, pertanyaan mengenai dampak buruk dari sertifikasi penceramah agama pun muncul. Sebagian pihak khawatir bahwa sertifikasi ini bisa mengarah pada pembatasan kebebasan berpendapat, serta mengekang keberagaman dalam menyampaikan ajaran agama.
Di sisi lain, isu ini bukanlah hal baru bagi Kementerian Agama (Kemenag). Sejak beberapa tahun belakangan, sertifikasi penceramah agama memang sudah dibahas secara intensif, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas dakwah dan menghindari penyebaran ajaran yang meresahkan masyarakat.
Menanggapi wacana ini, Nukilan.id melakukan wawancara dengan warga Banda Aceh, yang mayoritas menganggap sertifikasi penceramah agama sebagai langkah yang penting. Menurut mereka, penceramah agama memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat, sehingga perlu ada jaminan bahwa mereka memiliki kapasitas yang memadai.
“Penting ya, karena yang namanya pemuka agama itu kan pasti bakal jadi panutan banyak orang. Jadi masyarakat kita tuh kalau emang udah suka sama itu orang, mau dia salah mau dia enggak, itu pasti dibela,” ujar Naila, warga yang ditemui pada Senin (23/12/2024).
Selain itu, Wildan, warga lainnya juga berpendapat bahwa sertifikasi penceramah dapat membantu menyaring konten-konten yang tidak pantas atau menyesatkan bagi masyarakat.
“Penting sih, dengan sertifikasi ini bisa menyaring sekiranya konten-konten yang tidak pantas untuk masyarakat,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa sertifikasi bagi penceramah agama sangatlah relevan.
“Soalnya kan guru sekolah aja harus punya sertifikasi, apalagi guru soal urusan akhirat,” tambahnya.
Pendapat lainnya mengusulkan agar sertifikasi penceramah agama tidak hanya berbentuk pelatihan, tetapi juga berstandar dan bersanad.
“Ya sebaiknya sertifikasi seperti dosen dan dapat tunjangan sertifikasi. Sertifikasi bersanad dan menguasai beberapa kitab tertentu,” tambah Ilma.
Sertifikasi penceramah agama, jika diterapkan dengan baik, diharapkan dapat mengarahkan dakwah yang lebih berkualitas dan terhindar dari penyebaran paham radikal. Namun, tentu saja, perlu diwaspadai agar proses sertifikasi tidak mengekang kebebasan berpendapat dan penyebaran ajaran agama yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah