NUKILAN.id | Banda Aceh — Hampir dua dekade pasca-Perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005, Aceh masih menghadapi tantangan besar dalam menjaga perdamaian dan menegakkan hak asasi manusia (HAM). Meski konflik telah berakhir, dinamika demokrasi dan isu keadilan tetap menjadi sorotan berbagai pihak.
Hal ini terungkap dalam diskusi publik bertema “Gerakan Hak Asasi Manusia dalam Turbulensi Demokrasi: Memastikan Kelanjutan Proses Damai Aceh” yang diadakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) bersama Flower Aceh di Banda Aceh, Jumat (13/12/2024). Diskusi ini dihadiri akademisi, aktivis, dan perwakilan pemerintah untuk mengkaji refleksi perjalanan perdamaian Aceh.
Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar, menegaskan pentingnya menjadikan HAM sebagai fondasi utama kebijakan publik di Aceh.
“Mempertahankan perdamaian tidak cukup hanya dengan komitmen politik. HAM harus menjadi dasar dalam setiap langkah kebijakan yang diambil,” kata Wahyudi.
Perempuan dan Perdamaian: Peran yang Diabaikan
Dalam diskusi tersebut, perhatian besar diarahkan pada minimnya kebijakan perlindungan perempuan di Aceh. Aktivis perempuan sekaligus dosen Universitas Syiah Kuala, Suraiya Kamaruzzaman, mengungkapkan bahwa partisipasi perempuan dalam proses perdamaian masih sering terabaikan.
“Perempuan Aceh telah menjadi pilar perdamaian, tetapi hanya 0,12 persen dari total APBA yang dialokasikan untuk isu perempuan. Ini mencerminkan rendahnya perhatian terhadap masalah ini,” ujar Suraiya.
Ia menyerukan penerapan gender budgeting di berbagai sektor, bukan hanya di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A). Menurutnya, alokasi anggaran harus merata agar kebijakan pemberdayaan perempuan lebih optimal.
“Demokrasi yang inklusif membutuhkan keterlibatan perempuan. Kebijakan yang berpihak pada mereka adalah kunci untuk memastikan perdamaian tetap berlanjut,” tambahnya.
Penegakan HAM: Pilar Demokrasi yang Harus Diperkuat
Akademisi UIN Ar-Raniry, Reza Idria, menyebutkan bahwa pendidikan HAM di Aceh harus diperkuat untuk mendukung keberlanjutan demokrasi.
“Nilai-nilai HAM perlu diajarkan secara komprehensif, mulai dari sekolah hingga universitas. Selain itu, budaya lokal Aceh bisa menjadi modal besar dalam memperkaya konsep HAM,” kata Reza.
Namun, tantangan akses keadilan masih menjadi isu utama. Direktur LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa, menyoroti sulitnya masyarakat kecil mendapatkan keadilan.
“Tanpa dukungan pemerintah untuk advokasi HAM, akses keadilan akan terus menjadi isu yang sulit dipecahkan,” tegas Aulianda.
Ketua Komnas HAM periode 2007–2012, Ifdhal Kasim, menambahkan bahwa demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menjunjung tinggi HAM.
“Jika HAM diabaikan, perdamaian Aceh akan sulit bertahan lama. Ini adalah tanggung jawab bersama,” ujarnya.
KKR Aceh: Reparasi dan Harapan Baru
Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh), Mastur Yahya, mengungkapkan bahwa lembaganya tengah mempercepat program reparasi bagi korban konflik. Hingga kini, 1.200 korban tambahan telah terdata, dan rancangan pelaksanaan reparasi sedang difinalisasi.
“Kami berharap rancangan ini bisa segera diimplementasikan oleh Gubernur Aceh yang baru. Reparasi ini penting untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah,” kata Mastur.
Refleksi HAM dalam Buku
Diskusi ini juga menjadi ajang peluncuran dua buku bertema HAM: “Negara Pelindung Hak Asasi Manusia” dan “Suara Keadilan: Dedikasi Advokat untuk Gerakan HAM di Indonesia”. Buku-buku ini menjadi pengingat pentingnya peran advokasi dalam memperjuangkan HAM di Indonesia, termasuk di Aceh.
Moderator diskusi, Riswati, yang juga Direktur Eksekutif Flower Aceh, menegaskan bahwa keberlanjutan perdamaian membutuhkan komitmen kolektif.
“Perdamaian bukan sekadar status politik, tetapi perjalanan panjang yang membutuhkan kontribusi nyata dari semua pihak,” katanya.
Mengawal Perdamaian Aceh
Diskusi yang dihadiri berbagai elemen masyarakat ini menghasilkan seruan untuk memperkuat konsolidasi gerakan masyarakat sipil. Langkah konkret diperlukan agar perdamaian Aceh tetap terjaga di tengah dinamika demokrasi.
Aceh kini berdiri di persimpangan jalan: memperkuat pondasi perdamaian yang inklusif atau kembali terjebak dalam konflik lama. Jawabannya ada di tangan semua pihak, dari pemerintah hingga masyarakat.
Editor: Akil