NUKILAN.id | Banda Aceh – Konflik bersenjata yang berlangsung di Aceh selama puluhan tahun menyisakan luka mendalam, terutama bagi perempuan. Suraiya Kamaruzzaman, aktivis perempuan Aceh, menyoroti dampak konflik masa lalu terhadap tingginya kasus kekerasan berbasis gender hingga kini.
“Pada masa konflik, banyak perempuan menjadi korban kekerasan seksual, terutama oleh aparat negara. Ketika sudah damai, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sudah memiliki data yang cukup, bahkan by name by address. Namun, proses pemulihan yang komprehensif kepada korban belum dilakukan,” ujar Suraiya kepada Nukilan.id, Kamis (7/12/2024).
Menurutnya, dampak trauma masih dirasakan oleh para korban. Tidak sedikit yang hidup dengan ketakutan mendalam akibat kekerasan yang pernah dialami. Suraiya juga menyoroti kurangnya dukungan psikologis bagi mereka yang terlibat konflik.
“Orang-orang yang terlibat dalam konflik hampir tidak pernah mendapatkan konseling. Ini menjadi tantangan besar bagi upaya pemulihan Aceh secara menyeluruh,” tambahnya.
Sejak perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005, KKR Aceh telah mendokumentasikan ribuan kasus pelanggaran HAM, termasuk kekerasan terhadap perempuan. Namun, langkah konkret untuk memberikan keadilan dan penyembuhan bagi korban dinilai masih jauh dari harapan.
Suraiya menekankan pentingnya pemulihan yang tidak hanya menyentuh aspek fisik, tetapi juga psikis. Ia berharap ada perhatian lebih dari pemerintah dan pihak terkait untuk mengintegrasikan konseling trauma bagi korban dan pelaku konflik dalam program rekonsiliasi Aceh.
“Rekonsiliasi tidak hanya soal pengakuan dan pengampunan, tetapi juga pemulihan psikologis. Jika ini terus diabaikan, luka konflik akan terus menjadi beban generasi mendatang,” tegas Suraiya.
Dalam upaya mewujudkan Aceh yang lebih damai dan setara, Suraiya mengajak seluruh pihak untuk lebih peka terhadap isu kekerasan berbasis gender dan memberikan ruang aman bagi para penyintas untuk berbicara.
“Ini bukan hanya soal korban perempuan, tetapi soal keadilan dan kemanusiaan untuk seluruh masyarakat Aceh,” tutupnya. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah