Jelajah Kuliner Aceh: Cita Rasa Unik yang Mendunia

Share

NUKILAN.id | Feature – Ada sesuatu yang istimewa tentang makanan. Ia tidak hanya sekadar mengisi perut, tetapi juga menyentuh hati, membawa kenangan, dan sering kali, menjadi cerminan budaya yang mendalam. Di Aceh, tanah Serambi Mekkah, kuliner menjadi jalan cerita tentang sejarah, warisan, dan kebersamaan.

Ketika pertama kali menjejakkan kaki di Banda Aceh, aroma rempah langsung menyambut, menelusup lembut di udara. Aku tahu, perjalanan ini tidak hanya akan memuaskan rasa lapar, tetapi juga menjadi pengalaman mendalam, menggali makna di balik setiap hidangan yang dihidangkan di meja.

Malam pertama di Banda Aceh, aku menuju sebuah kedai kecil yang ramai di sudut kota. Kedai itu hanya diterangi lampu-lampu kuning temaram, tetapi pengunjungnya tak pernah sepi. Di sanalah aku berjumpa dengan Mie Aceh, hidangan ikonik yang telah membawa nama daerah ini ke panggung kuliner dunia.

Mangkuk mie itu tiba di meja, mengepul hangat dengan aroma kari yang tajam namun menggoda. Mie tebal yang berwarna kuning keemasan bercampur dengan irisan daging sapi, udang, dan taburan bawang goreng. Kuahnya kental, berwarna oranye pekat, seakan menyimpan rahasia rasa di dalamnya.

Ketika sendok pertama mencapai lidahku, ledakan rasa rempah memenuhi mulutku—kayu manis, cengkih, kapulaga, kunyit, semua bersatu dalam harmoni yang sempurna. Mie Aceh bukan sekadar makanan, tetapi sebuah cerita tentang perjalanan perdagangan rempah Nusantara.

Pak Yusuf, pemilik kedai, duduk di sampingku sambil tersenyum bangga. “Rempah-rempah ini adalah warisan nenek moyang kami,” katanya. “Mie Aceh adalah bukti bahwa makanan bisa menghubungkan kita dengan masa lalu.”

Kuah Pliek U: Rasa yang Dalam dari Tanah Gayo

Hari berikutnya, aku diajak ke rumah seorang teman di pedalaman Aceh Besar. Di sana, aku diperkenalkan dengan Kuah Pliek U, hidangan khas yang penuh filosofi.

Kuah Pliek U adalah semacam gulai, tetapi yang membuatnya istimewa adalah penggunaan pliek u, sisa olahan kelapa yang telah diambil minyaknya. Di dalam kuah ini terdapat campuran sayur-mayur, meliputi daun melinjo, kacang panjang, dan potongan pepaya muda.

Ketika suapan pertama masuk ke mulutku, rasa gurihnya menyentuh hati. Ada sesuatu yang menenangkan dari hidangan ini, seperti pelukan hangat seorang ibu. Pak Nasir, yang memasak hidangan itu, berkata, “Kuah Pliek U adalah simbol kebersamaan. Kami membuatnya untuk dinikmati bersama keluarga dan tetangga.”

Benar saja, makan siang itu berlangsung dengan kehangatan luar biasa. Orang-orang berkumpul, berbagi cerita, dan tertawa. Kuah Pliek U menjadi pengikat, bukan hanya lidah, tetapi juga jiwa.

Keunikan Ayam Tangkap

Sore itu, aku mengunjungi sebuah rumah makan di pinggir jalan. Di sanalah aku bertemu dengan Ayam Tangkap, salah satu hidangan paling menarik dalam daftar kuliner Aceh.

Ayam Tangkap adalah potongan ayam yang digoreng hingga garing, disajikan dengan daun kari, daun pandan, dan irisan bawang goreng. Ketika hidangan itu tiba, aku hampir tak bisa membedakan ayamnya dari dedaunan karena semuanya digoreng bersama.

Gigitan pertama pada ayam itu adalah perpaduan rasa renyah dan aroma harum dari daun-daun rempah. Setiap gigitan adalah kejutan kecil, karena rempah-rempah memberikan sentuhan rasa yang berbeda setiap kali.

Seorang pelayan berkata sambil tertawa, “Nama Ayam Tangkap berasal dari cara penyajian yang berantakan ini. Anda seperti harus menangkap ayam di antara daun-daun.”

Lezatnya Kue Tradisional Aceh

Setelah puas dengan hidangan berat, aku beralih ke makanan ringan. Aceh terkenal dengan berbagai kue tradisional yang menggugah selera, dan hari itu aku menjelajahi pasar tradisional Peunayong.

Di salah satu lapak, aku mencicipi timphan, kue berbentuk lonjong yang dibungkus daun pisang. Adonannya terbuat dari tepung ketan dan santan, dengan isian serikaya atau kelapa parut manis. Teksturnya lembut, hampir meleleh di mulut, dengan rasa manis yang tidak berlebihan.

Aku juga mencoba kue bhoi, yang sering disebut kue ikan karena bentuknya yang menyerupai ikan. Rasanya ringan, sedikit manis, dan cocok disantap dengan secangkir kopi hitam.

“Setiap kue ini punya cerita,” kata seorang penjual. “Timphan adalah simbol rasa syukur, dan sering disajikan saat hari besar seperti Idul Fitri.”

Kopi Aceh: Minuman dari Surga

Tidak lengkap rasanya menjelajahi kuliner Aceh tanpa mencicipi kopinya yang legendaris. Aku pun menuju Takengon, di dataran tinggi Gayo, tempat kopi terbaik Aceh ditanam.

Di sebuah kedai kopi sederhana, aku mencoba secangkir kopi Gayo. Aroma khasnya menyeruak begitu cangkir itu tiba. Ketika menyesapnya, aku merasakan rasa yang kaya, dengan keasaman halus dan sedikit sentuhan cokelat.

Pak Hasan, seorang petani kopi, berkata dengan bangga, “Kopi ini tidak hanya tentang rasa. Ia adalah hasil kerja keras, dari menanam, memetik, hingga mengolah.”

Di kebun kopi, aku melihat bagaimana petani memetik biji-biji merah dengan hati-hati. Setiap biji adalah hasil kerja tangan yang penuh dedikasi.

Keberagaman Cita Rasa yang Mendunia

Kuliner Aceh adalah perpaduan rasa yang mencerminkan sejarah panjangnya. Pengaruh Timur Tengah, India, dan Tiongkok terasa jelas dalam penggunaan rempah-rempah, teknik memasak, dan berbagai hidangan. Namun, di tengah keberagaman itu, kuliner Aceh tetap memiliki identitasnya sendiri—sebuah rasa yang otentik dan tidak tergantikan.

Melalui makanan, Aceh berbicara kepada dunia. Ia menyampaikan cerita tentang kekayaan alamnya, tentang para petani dan nelayan yang bekerja keras, dan tentang komunitas yang menjaga tradisi dengan cinta dan kebanggaan.

Namun, di balik keindahan ini, ada tantangan. Banyak resep tradisional mulai tergeser oleh makanan modern. Generasi muda lebih sering memilih makanan cepat saji daripada masakan rumah.

Tetapi, ada harapan. Upaya melestarikan kuliner Aceh mulai digalakkan, baik melalui festival makanan, pendidikan, maupun promosi internasional. Restoran Aceh di luar negeri menjadi duta rasa yang membawa harum nama daerah ini.

Jelajah kuliner di Aceh adalah pengalaman yang mendalam. Setiap hidangan membawa rasa, cerita, dan makna yang unik. Dari semangkuk Mie Aceh yang penuh rempah, hingga secangkir kopi Gayo yang harum, semuanya menggambarkan kekayaan budaya dan jiwa masyarakatnya.

Di akhir perjalanan, aku menyadari bahwa makanan adalah jembatan. Ia menghubungkan kita dengan masa lalu, dengan orang lain, dan dengan diri kita sendiri. Dan di Aceh, makanan bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang cinta, kebanggaan, dan penghormatan kepada tradisi.

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News