PPN Naik, Ekonomi Masyarakat Makin Sulit

Share

Nukilan.id – Pemerintah berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen sebagaimana termaktub dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HHP). Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 11 persen mulai berlaku pada 1 April 2022 dan PPN 12 persen berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025 mendatang.

Berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, barang-barang yang akan dikenakan tarif PPN adalah tas, pakaian, sepatu, produk otomotif, dan alat elektronik.

Sementara barang lainnya yaitu pulsa telekomunikasi, perkakas, produk kecantikan, kosmetik, dan lainnya. Jasa layanan streaming musik dan film seperti Spotify dan Netflix juga akan menjadi target yang dikenakan tarif PPN.

Contoh barang lainnya adalah pulsa telekomunikasi, perkakas, produk kecantikan, hingga kosmetik. Jasa layanan streaming musik dan film juga menjadi target pengenaan PPN, seperti Spotify dan Netflix.

Sementara berdasarkan Pasal 4A UU HPP, beberapa jenis barang yang tidak dikenai PPN yaitu barang tertentu dalam kelompok barang berikut: makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sebagainya. Sementara jenis jasa yang tidak dikenai PPN yaitu jasa tertentu dalam kelompok jasa, meliputi jasa keagamaan, jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa penyediaan tempat parkir, jasa boga atau katering, jasa pendidikan, jasa pelayanan kesehatan medis tertentu, jasa keuangan, jasa tenaga kerja, dan jasa angkutan umum di darat, air, dan udara.

Tuai Beragam Kritik

Rencana pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen ini menuai kritik dari berbagai pihak mulai dari masyarakat, organisasi masyarakat sipil, hingga para pengusaha sendiri.

Pada awal Oktober 2024 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan pertumbuhan konsumsi masyarakat yang melambat di triwulan-III 2024 dan hanya tumbuh 4,91 persen secara tahunan. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers beberapa waktu lalu mengatakan pertumbuhan paling lambat terjadi di sektor pakaian dan alas kaki, jasa perawatan, perumahan, kesehatan, dan pendidikan.

Namun demikian, konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi triwulan-III 2024 dengan kontribusi 53,08 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hal yang membuat masyarakat saat ini khawatir adalah kenaikan harga kebutuhan pokok seperti BBM, minyak goreng, dan pangan serta jatuh temponya pajak, cicilan, dan kredit.

Chief Strategist dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Yurdhina Meilissa mengatakan rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen ini akan memberikan dampak tidak langsung yang berkontribusi terhadap biaya layanan kesehatan jika dilihat dari sisi industri.

Dia menambahkan, kenaikan harga bahan pokok farmasi serta alat-alat kesehatan yang dikenai PPN 12 persen rentan berdampak terhadap peningkatan biaya layanan kesehatan. Padahal layanan kesehatan pada dasarnya merupakan kategori yang dibebaskan dari pajak. Sementara obat-obatan yang diberikan bagi pasien rawat jalan akan ikut dikenakan PPN.

“Obat merupakan barang kena pajak (BKP) yang akan terkena PPN pada setiap rantai distribusinya,” kata Yurdhina dalam keterangan tertulisnya, dikutip Nukilan dari Tempo, Kamis, 28 November 2024.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda mengatakan indikator ekonomi saat ini menunjukkan beban masyarakat yang terlalu berat, sehingga sangat tidak pada tempatnya jika beban ini ditambah dengan kenaikan PPN.

Dia mempertanyakan mengapa pemerintah tidak mencari pos penerimaan negara lainnya seperti sektor tambang yang menurut Nailul masih belum optimal dalam hal penerimaan negara atau mengejar para pengemplang pajak yang berdasarkan pernyataan Hasyim Djojohadikusumo beberapa waktu lalu mencapai Rp300 triliun.

“Jadi ada yang pengemplang pajak yang tidak bayar pajak sebesar Rp300 triliun dibiarkan, tapi di sisi lain PPN dinaikkan tarifnya. Di mana itu dampaknya hanya menambah sekitar Rp50 triliun-Rp70 triliun saja, kan lebih gede mengejar dari pengemplang pajak tadi,” ujar Nailul Huda, dilansir VOA Indonesia, Jumat (29/11/2024).

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Muhammad Faisal menyarankan pemerintah menangguhkan kenaikan PPN hingga pulihnya kondisi ekonomi masyarakat menengah. Faisal menyebutkan, saat ini kelas menengah menyumbang 84 persen total konsumsi di Indonesia. Ketika konsumsi itu menurun maka akan memengaruhi sektor produksi dan industri. Pemerintah paling tidak harus menunggu kondisi ekonomi masyarakat kelas menengah pulih kembali seperti sebelum pandemi dulu.

Sementara Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani dan Direktur Komunikasi Korporat PT Danone Indonesia, Arief Mujahidin berharap pemerintah mempertimbangkan kembali soal kenaikan PPN menjadi 12 persen. Menurut Arief, jika ingin ekonomi tumbuhm maka tidak boleh ada kebijakan yang mengambat atau yang bisa mengurangi daya beli.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pihaknya masih menunggu kepastian pemerintah terkait kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen ini. Saat ini, katanya, DPR sedang mengkaji dan akan terus berkomunikasi terus dengan pemerintah terkait hal ini.

Menanggapi berbagai kritik ini, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti angkat bicara. Dia mengatakan sejatinya hasil pajak itu akan dikembali untuk masyarakat lagi dalam berbagai bentuk, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, subsidi listrik, subsidi LPG 3 kg, subsidi BBM, dan subsidi pupuk.

Gerakan Boikot Belanja

Masyarakat yang sudah jengah dengan rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen ini meluapkan rasa frustasi mereka di berbagai media sosial dan mengimbau masyarakat lainnya agar menggalakkan gerakan hidup hemat, petisi terbuka, aksi boikot, hingga gerakan tidak belanja. Dengan demikian, mereka tak harus membayar PPN yang akan dinaikkan menjadi 12 persen tersebut.

Namun, Ekonom CELIOS, Nurul Huda mengaku pesimistis dengan dampak dari protes semacam ini karena dengan tidak belanja sama sekali, maka produk lokal akan merosot dan berdampak pada pelaku UKM yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat kembali. Karena itu, ia menyarankan aksi boikot diarahkan terhadap barang-barang impor saja.

Namun, frustasi dan rasa kecewa yang dirasakan masyarakat bisa dimaklumi. Dengan kondisi ekonomi masyarakat yang saat ini semakin sulit, pemerintah malam berencana untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen alih-alih meningkatkan perekonomian masyarakat dan pelaku UKM. Jika alasannya subsidi, tanpa adanya kenaikan PPN pun pemerintah memang memiliki kewajiban untuk memberikan subsidi kepada masyarakat kurang mampu. Hal inilah yang justru akan semakin membuat ekonomi masyarakat carut-marut.

Apalagi Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto sudah mewanti-wanti kenaikan PPN menjadi 12 persen ini akan berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi bisa berada di bawah lima persen jika PPN dinaikkan dari 11 persen menjadi 12 persen tahun depan karena kenaikan ini akan semakin menekan daya beli hingga konsumsi masyarakat kelas menengah.

“Kalau PPN naik jadi 12 persen dilakukan pakai kacamata kuda, tanpa melihat realitas ekonomi yang sedang turun ini, ya kita mungkin akan mulai berbicara pertumbuhan ekonomi di bawah lima persen tahun depan,” ujar Eko dalam Diskusi Publik INDEF “Kelas Menengah Turun Kelas”, dikutip dari CNN Indonesia, Senin (9/9/2024). ***

Reporter: Sammy

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News