NUKILAN.id | Opini – Di era digital, perjudian online telah menjelma menjadi fenomena besar yang tak hanya merusak moral masyarakat, tetapi juga menelanjangi kelemahan sistem penegakan hukum di Indonesia. Drama ini kian menarik perhatian ketika kasus keterlibatan pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital dalam sindikat judi online terungkap. Namun, yang mencuat bukanlah pemberantasan yang tuntas, melainkan potret kepura-puraan dan pembiaran sistemik.
Pengungkapan sindikat judi online yang melibatkan 22 tersangka, termasuk 10 pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital, seharusnya menjadi babak penting dalam pemberantasan kejahatan dunia maya. Namun, penyelidikan yang setengah hati ini justru menunjukkan bagaimana aparat terkesan enggan menyentuh akar permasalahan.
Nama besar seperti Budi Arie Setiadi, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, bahkan disebut-sebut dalam pusaran kasus ini. Namun, sejauh ini upaya pemeriksaan terhadapnya tampak seperti sekadar formalitas. Padahal, fakta bahwa ada kantor satelit di Bekasi yang digunakan untuk mengatur lalu lintas situs judi online membuktikan bahwa kejahatan ini terorganisir dengan rapi, melibatkan pejabat tinggi yang seharusnya bertanggung jawab.
Mengapa pemberantasan judi online begitu lambat? Jawabannya ada pada angka-angka fantastis. Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), perputaran uang dari bisnis ini mencapai Rp427 triliun sepanjang 2023 hingga Maret 2024. Jumlah ini jauh melampaui anggaran sektor kesehatan yang hanya Rp16,4 triliun. Dengan angka sebesar itu, mudah dipahami mengapa upaya memberantas judi online seringkali hanya jadi drama pencitraan.
Bahkan, dana dari konsorsium bandar judi online diduga menjadi penopang operasi politik dan lembaga tertentu. Hubungan simbiosis ini menjadikan perjudian online sebagai industri yang sulit disentuh. Dalam banyak kasus, yang ditindak hanyalah pelaku lapangan atau pegawai rendahan, sementara para bos besar tetap bebas berkeliaran.
Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Online melalui Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2024 menunjukkan itikad pemerintah untuk memberantas masalah ini. Namun, keputusan ini baru diambil setelah pemilu 2024 dan menjelang pensiun Presiden Joko Widodo. Langkah ini menimbulkan pertanyaan: apakah pembentukan Satgas ini sungguh untuk memberantas judi online, atau sekadar langkah pencitraan menjelang akhir masa jabatan?
Kasus ini tidak hanya soal judi online, tetapi juga cerminan bagaimana negara gagal memberikan akuntabilitas. Jika penegakan hukum benar-benar serius, seharusnya tidak ada kompromi dalam menindak para pelaku, termasuk mereka yang berada di puncak kekuasaan.
Sayangnya, drama ini lebih sering berakhir dengan aktor-aktor kecil menjadi korban, sementara para bos besar tetap “diamankan.” Dalam konteks ini, akuntabilitas menjadi hal yang mahal, karena keberanian untuk menyentuh akar permasalahan seringkali hilang di tengah besarnya godaan uang.
Penanganan judi online adalah ujian besar bagi integritas hukum di Indonesia. Jika negara terus melindungi para pelaku besar demi kepentingan politik atau ekonomi, kepercayaan publik terhadap institusi hukum akan semakin tergerus.
Kita memerlukan langkah konkret yang tidak hanya menyentuh operator kecil, tetapi juga menindak tegas para pejabat dan bos besar yang berada di balik layar. Tanpa itu, pemberantasan judi online hanya akan menjadi sandiwara, dan keadilan akan terus menjadi barang mahal di negeri ini.
Akhirnya, akankah kita terus membiarkan sistem ini berputar seperti mesin rolet, bergerak tanpa arah dengan pola yang sama, ataukah kita berani mengubah permainan? Jawabannya ada pada keberanian negara menempatkan hukum di atas segalanya. (XRQ)
Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan USK)