NUKILAN.id | Opini – Politik Banda Aceh selalu menarik untuk diikuti, terutama menjelang pilkada. Pasangan calon nomor urut 4, T. Irwan Djohan dan Khairul Akmal, sempat digadang-gadang memiliki peluang besar merebut kursi Wali Kota. Namun, dalam beberapa pekan terakhir, ada yang terasa berubah. Pernyataan T. Irwan dalam debat politik justru memunculkan keraguan, bukan keyakinan, di hati sebagian pemilih.
Dalam debat itu, Irwan mengatakan, āBapak Tom Lembong sedang dikriminalisasi oleh kekuasaan,ā dan melanjutkan dengan pernyataan tajam lainnya, āSiapa pun yang berseberangan dengan kekuasaan pasti akan dikriminalisasi.ā Sepintas, pernyataan ini terdengar berani dan kritis. Namun, benarkah ini suara keberanian? Atau justru cermin dari pemahaman politik yang kurang matang?
Mari kita mulai dari esensi masalahnya: apa relevansi polemik hukum Tom Lembong dengan Banda Aceh? Kota ini tidak sedang menghadapi krisis terkait tokoh nasional, tetapi krisis yang sangat lokalākesejahteraan rakyat, tata kelola kota, dan layanan publik yang lebih baik. Mengangkat isu ini dalam forum debat pemilihan Wali Kota terasa seperti mengalihkan fokus dari hal-hal yang lebih mendesak.
Lebih dari itu, pernyataan Irwan bahwa “siapa pun yang berseberangan dengan kekuasaan akan dikriminalisasi” membuat penulis bertanya-tanya, apa yang sedang ia coba bangun di sini? Ketakutan atau harapan? Jika kita mengikuti logikanya, maka kita juga harus bersiap menghadapi risiko besar bila Irwan benar-benar terpilih. Sebagai pemimpin yang sudah memosisikan diri berseberangan dengan pusat, apakah ia mampu mengelola hubungan yang baik dengan pemerintah pusat?
Banda Aceh bukan kota yang bisa berdiri sendiri tanpa bantuan pusat. Dengan anggaran daerah yang terbatas, membangun kota ini membutuhkan sinergi yang solid, bukan retorik yang membakar jembatan sebelum perjalanan dimulai. Ketika hubungan dengan pusat terganggu, warga kota ini yang akan menanggung dampaknya. Kita akan terjebak dalam keterbatasan anggaran, tanpa ruang untuk bermanuver.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah implikasi dari retorika ini. Apakah Irwan ingin menciptakan narasi bahwa Banda Aceh harus menjadi āmusuh pusatā? Jika ya, ini bukanlah kepemimpinan yang kita butuhkan. Warga Banda Aceh membutuhkan pemimpin yang bisa menjembatani kepentingan daerah dan nasional, bukan seseorang yang malah menanam benih konflik di awal perjalanan.
Pernyataan dalam debat itu mungkin dimaksudkan sebagai bentuk keberanian politik. Tapi keberanian tanpa strategi adalah kesia-siaan. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang bisa berpikir strategis, mencari solusi nyata, dan memahami bahwa kolaborasi adalah jalan terbaik untuk membawa kota ini maju.
Pilihan politik bukan soal siapa yang berani berteriak lebih keras. Ini soal siapa yang punya visi besar, tetapi tetap berpijak pada kenyataan. Karena Banda Aceh tidak butuh pemimpin yang pandai membuat panggung, tetapi yang mampu membangun fondasi untuk masa depan. (XRQ)
Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan-USK)