Menguji Klaim Irwan Djohan: Benarkah Oposisi Dikriminalisasi?

Share

NUKILAN.id | Opini – Pernyataan T. Irwan Djohan, salah seorang kandidat wali kota Banda Aceh dalam sesi debat baru-baru ini cukup mengejutkan. Saat sesi debat berlangsung ia mengeluarkan pernyataan yang tak main-main: “Bapak Tom Lembong dikriminalisasi, jadi di republik ini saat ini siapapun yang berseberangan dengan kekuasaan pasti akan dikriminalisasi.” Sekilas, pernyataan ini tampak sebagai kritik tajam terhadap dugaan ketidakadilan yang terjadi dalam sistem hukum kita. Namun, benarkah klaim kriminalisasi ini nyata, atau hanya sekadar strategi retoris untuk menarik simpati?

Kriminalisasi atau Kritik Berlebihan?

Kriminalisasi dalam konteks politik adalah praktik menggunakan hukum atau sistem peradilan untuk menekan atau menghilangkan lawan politik, sering kali dengan tuduhan yang direkayasa atau manipulatif. Di negara dengan iklim demokrasi yang sehat, seharusnya sistem hukum berdiri di atas asas keadilan dan independensi. Hukum tidak boleh disalahgunakan untuk membungkam suara kritis atau pihak yang dianggap berseberangan dengan kekuasaan. Namun, benarkah setiap oposisi saat ini pasti akan dikriminalisasi?

Jika benar demikian, ini akan menandakan darurat besar dalam demokrasi kita. Namun, tanpa bukti yang konkret, pernyataan ini bisa berisiko merusak persepsi publik terhadap sistem hukum secara keseluruhan. Jika klaim ini dibuat tanpa dasar yang kuat, kita patut waspada terhadap upaya-upaya untuk mempolitisasi opini publik demi keuntungan jangka pendek dalam kontestasi politik.

Kasus Tom Lembong sebagai Pembenaran

Kandidat tersebut merujuk pada kasus Tom Lembong, salah seorang tokoh perubahan, sebagai contoh nyata dari praktik kriminalisasi. Namun, tanpa rincian lebih lanjut, pernyataan ini masih sebatas tuduhan. Apakah ada bukti yang jelas bahwa Tom Lembong benar-benar dijadikan sasaran politik melalui jalur hukum? Jika iya, tentu ini harus menjadi perhatian publik dan pemerhati demokrasi. Tetapi jika hal ini tidak pernah terbukti atau hanya sekadar spekulasi, maka menggunakannya sebagai contoh untuk memvalidasi tuduhan kriminalisasi terhadap oposisi menjadi tidak etis.

Di sinilah pentingnya transparansi. Jika Irwan Djohan ingin membangun argumen yang kuat, ia perlu menyajikan data atau setidaknya fakta pendukung. Jika tidak, ia hanya mengandalkan asumsi dan membangun narasi kriminalisasi tanpa dasar yang jelas.

Demokrasi yang Terkoyak?

Kriminalisasi lawan politik, bila benar terjadi, adalah momok bagi sistem demokrasi. Fenomena ini bukan hal baru di dunia politik. Banyak negara dengan rezim otoriter telah menggunakan sistem peradilan untuk membungkam kritik dan mempertahankan kekuasaan. Ketika tuduhan kriminalisasi politik muncul, ini menjadi indikator serius akan adanya potensi pembusukan demokrasi dari dalam.

Jika sistem hukum yang seharusnya netral justru dijadikan alat untuk menyingkirkan oposisi, demokrasi kita akan kehilangan inti esensinya, yaitu keadilan dan kebebasan berekspresi. Hal ini juga bisa mengarah pada ketakutan kolektif, di mana individu atau kelompok yang mengkritisi pemerintah takut untuk berbicara lantang karena ancaman kriminalisasi. Jika fenomena ini terus terjadi, lama-kelamaan tidak ada lagi ruang bagi oposisi yang sehat.

Di Antara Kritik dan Populisme

Tidak dapat dipungkiri, kritik terhadap kriminalisasi politik sering kali memiliki daya tarik yang kuat dalam kampanye politik. Tuduhan semacam ini bisa langsung memancing simpati, terutama di kalangan masyarakat yang sudah lama merasa skeptis terhadap pemerintah. Dalam istilah politik, ini adalah senjata retoris yang efektif. Namun, ketika pernyataan dibuat dengan bahasa yang terlalu luas atau hiperbolis, ia bisa berubah menjadi bentuk populisme yang tidak sehat.

Mengklaim bahwa “siapapun yang berseberangan dengan kekuasaan pasti akan dikriminalisasi” tanpa menyebutkan bukti dapat memancing sinisme dan ketidakpercayaan publik yang berlebihan terhadap institusi hukum. Dalam konteks tertentu, kritik tersebut mungkin benar adanya, tetapi melabeli seluruh sistem sebagai alat politik tanpa bukti yang kuat juga tidak adil. Dalam situasi ini, kandidat perlu bijak: mengkritisi kekuasaan tentu penting, tetapi harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab.

Kebutuhan Akan Bukti

Kita tidak boleh menutup mata terhadap kemungkinan kriminalisasi yang terjadi, tetapi kita juga harus cerdas memilah mana yang fakta dan mana yang hanya strategi retoris. Dalam sistem demokrasi yang sehat, segala tuduhan terhadap aparat penegak hukum harus didasarkan pada bukti yang dapat diuji, bukan hanya sekadar narasi yang dilontarkan. Opini publik berhak mendapatkan informasi yang valid sebelum memutuskan ke mana kepercayaan mereka akan diberikan.

Menjaga Demokrasi Dengan Kritik yang Membangun

Sebagai penutup, kritik terhadap sistem adalah hal yang esensial dalam demokrasi, tetapi kritik tersebut harus dilandasi oleh bukti dan dilontarkan secara proporsional. Jika seorang kandidat membangun klaim besar seperti ini tanpa dasar yang kuat, alih-alih memperbaiki demokrasi, ia justru bisa menghancurkan kepercayaan terhadap sistem hukum yang menjadi penopangnya.

Jika demokrasi kita ingin tetap sehat, kritik harus hadir, tetapi dalam bentuk yang bertanggung jawab, berdasarkan bukti yang konkret, dan dengan niat untuk membangun, bukan sekadar untuk meraih simpati sesaat. (XRQ)

Penulis: Akil Rahmatillah (Mahasiswa Ilmu Pemerintahan-USK)

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News