8 November 1999, Aceh Menuntut Referendum

Share

NUKILAN.id | Feature – Sejak akhir 1970-an, Aceh bergulat dengan konflik berkepanjangan yang menyisakan luka mendalam bagi banyak warganya. Sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008, hlm. 626-627) menyoroti bahwa akar konflik di Aceh muncul dari kekecewaan masyarakat atas pengelolaan Jakarta yang dianggap tak adil. Di satu sisi, Aceh kaya akan sumber daya gas alam cair, namun hanya memperoleh bagian kecil dari keuntungannya.

Rasa ketidakpuasan masyarakat Aceh semakin diperparah oleh perampasan tanah-tanah rakyat dan kehadiran kelompok-kelompok preman yang diduga dilindungi oleh militer. Akumulasi kemarahan ini memicu lahirnya perlawanan yang dipimpin oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di bawah komando Hasan Tiro, yang berlangsung dari 1977 hingga 1982.

Setelah periode tenang yang singkat, GAM kembali aktif pada 1988, dan pemerintah merespons dengan langkah militer. ABRI menerapkan teror dan intimidasi, sementara GAM terus melawan dengan menyerang pos-pos militer.

“Pada pertengahan 1990, akibat meningkatnya eskalasi konflik, Jakarta mengirim pasukan Kostrad di bawah komando Prabowo ke Aceh. Dari periode ini hingga 1998, status Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dan diberlakukan hukum darurat perang,” jelas Ricklefs.

Pasca lengsernya Soeharto pada Mei 1998, ABRI mulai menunjukkan sikap yang lebih lunak, namun ketegangan di Aceh tak kunjung mereda. Dorongan untuk mengusut pelanggaran HAM di Aceh pun semakin kuat, terutama dari kalangan mahasiswa yang peduli. Meskipun begitu, isu-isu Aceh tetap belum menjadi prioritas nasional.

Pada awal 1999, muncul wacana referendum bagi Aceh. Usulan ini tidak datang dari GAM, melainkan dari Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau yang diselenggarakan pada 31 Januari hingga 4 Februari 1999. Kongres ini kemudian melahirkan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), sebuah gerakan yang dimotori para mahasiswa Aceh, dengan Muhammad Nazar sebagai ketua presidium. Saat itu, Nazar baru saja lulus dari IAIN Ar-Raniry dan menjadi pengajar di kampus tersebut.

Tujuan SIRA adalah memperjuangkan pelaksanaan referendum di Aceh, memberikan pilihan bagi rakyat untuk menentukan apakah ingin tetap bersama Indonesia atau merdeka. Sepanjang 1999, SIRA menggalang dukungan melalui aksi-aksi massa dan perlahan memperoleh simpati dari tokoh-tokoh penting Aceh, termasuk deklarator GAM, Hasan Tiro, dan panglimanya, Abdullah Syafi’i, yang mendukung referendum sebagai alternatif solusi damai dibandingkan jalan senjata.

Namun, SIRA selalu menegaskan posisi independennya dari GAM. Muhammad Nazar secara tegas menyatakan bahwa SIRA tidak berafiliasi dengan GAM secara organisasi.

“Indonesia menginginkan Aceh tetap menjadi bagian wilayahnya. GAM ingin Aceh merdeka. Bagi kami yang penting adalah keinginan itu ditransformasikan secara beradab, tanpa harus ada kekerasan,” ujar Nazar, seperti ditulis Kompas pada 16 Februari 2003.

Wacana referendum tidak hanya bergema di Aceh, tetapi juga menyedot perhatian kalangan elite politik di Jakarta. Tuntutan referendum ini muncul bersamaan dengan masa kampanye Pemilu 1999, sehingga segera menjadi alat bagi partai-partai untuk memenangkan simpati rakyat Aceh.

“Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akan memperjuangkan pengusutan pelanggaran HAM di Aceh dan mendukung referendum, sesuai tuntutan masyarakat setempat,” kata Ghazali Abbas, juru kampanye PPP, dalam kampanye di Banda Aceh pada Kamis (27/5), seperti yang tertulis dalam harian Kompas (29/5/1999).

Respon positif juga datang dari Abdurrahman Wahid yang waktu itu menjabat presiden. Persoalan Aceh menjadi salah satu prioritas pemerintahannya, dengan harapan pendekatan ini dapat meredakan konflik dan membuka jalan perundingan.

Menjelang November 1999, gaung referendum di Aceh kian besar. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) berhasil menarik rakyat Aceh mendukung penyelesaian konflik secara damai. Aksi-aksi pawai referendum berlangsung di berbagai daerah, mulai dari Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Besar, Banda Aceh, hingga Pidie dan Aceh Selatan.

Puncaknya terjadi pada 8 November 1999, ketika ratusan ribu warga Aceh berkumpul di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Dalam acara yang disebut “Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum” (SU MPR), sebagai sindiran bagi lembaga legislatif nasional yang dipimpin Amien Rais kala itu, massa yang hadir menyuarakan tuntutan referendum secara lantang.

Menyikapi gelombang tuntutan ini, Gus Dur kembali menunjukkan komitmennya terhadap referendum. Dalam kunjungannya ke Jepang pada 16 November 1999, ia menjanjikan untuk mempersiapkan referendum dalam tujuh bulan.

“Satu bulan akan digunakan untuk menentukan sikap resmi pemerintah, dan enam bulan berikutnya untuk perundingan,” seperti yang tertulis di harian Kompas (17/11/1999).

Namun, dukungan Gus Dur terhadap referendum diartikan secara berbeda. Seperti yang diungkapkan Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (2017, hlm. 385), Gus Dur memandang referendum bukan sebagai langkah menuju kemerdekaan, tetapi lebih kepada opsi untuk memperluas otonomi Aceh.

Semangat referendum akhirnya sampai juga ke Jakarta. Pada 25 November 1999, sekitar 3.000 orang dari Forum Perjuangan dan Keadilan Rakyat Aceh (Fopkra) berunjuk rasa di Gedung MPR/DPR, menuntut pemerintah pusat segera melaksanakan referendum di Aceh. Massa yang sebagian besar merupakan perantauan Aceh di Jawa ini mendesak agar tuntutan rakyat Aceh mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat.

Namun, gerakan yang awalnya membesar itu tak bertahan lama. Pada 9 Desember, DPR resmi memutuskan untuk tidak merekomendasikan referendum kepada pemerintah. Artinya, jika Gus Dur tetap bersikeras menyelenggarakan referendum, DPR tidak akan memberikan dukungan.

“Tuntutan referendum muncul karena ketidakadilan. Kalau soalnya adalah ketidakadilan, tidak benar bila kita memberikan opsi kemerdekaan,” kata Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno yang dikutip oleh Kompas pada 10 Desember 1999.

Keputusan DPR ini jelas memperberat langkah Gus Dur dan meruntuhkan optimisme pendukung referendum. Pada akhirnya, Gus Dur terpaksa menarik dukungannya karena minimnya sokongan politik di Senayan.

Sejak itu, kampanye referendum melemah dan akhirnya hilang. Aktivis-aktivis SIRA, seperti Muhammad Nazar dan Cut Nur Asyikin kemudian dijebloskan ke penjara dengan tuduhan memobilisasi massa untuk makar. (XRQ)

Penulis: Akil Rahmatillah

spot_img

Read more

Local News