NUKILAN.id | Opini – Upaya untuk membatasi masa jabatan anggota legislatif hingga dua periode saja kini tengah digugat ke Mahkamah Konstitusi. Wacana ini mengundang perhatian publik, terutama dalam konteks menekan potensi penyalahgunaan kekuasaan dan membuka jalan bagi regenerasi kepemimpinan. Prinsip pembatasan periode jabatan memang sering kali dijadikan filter dalam sistem demokrasi agar kekuasaan tetap sehat, terukur, dan dinamis. Namun, pertanyaannya: apakah pembatasan jabatan ini benar-benar solusi ideal bagi parlemen Indonesia?
Secara filosofis, pembatasan masa jabatan memiliki dua alasan kuat. Pertama, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, yang kerap berwujud pada korupsi dan bentuk penyimpangan lain. Kekuasaan yang berlangsung tanpa batas cenderung melahirkan penyalahgunaan wewenang. Kedua, pembatasan jabatan juga memungkinkan adanya rotasi kepemimpinan yang sehat. Regenerasi bukan sekadar formalitas; ia adalah esensi dari sebuah demokrasi yang terbuka, yang memungkinkan generasi baru tampil dalam kancah politik dengan perspektif segar dan inovatif.
Namun, jika menengok berbagai negara lain, praktik pembatasan jabatan anggota legislatif ini beragam. Di beberapa negara, batasan masa jabatan untuk anggota parlemen bahkan tidak diberlakukan. Ketidakhadiran pembatasan ini seringkali berangkat dari alasan bahwa fungsi utama anggota legislatif adalah sebagai pengawas, monitor, dan legislator, bukan eksekutor. Oleh sebab itu, argumentasi yang kerap muncul adalah, batas masa jabatan anggota legislatif mungkin tak sepenting pembatasan untuk pemimpin eksekutif, seperti presiden atau kepala daerah yang memegang kendali anggaran dan administrasi langsung.
Jika diterapkan, dampak pembatasan masa jabatan legislatif terhadap pemberantasan korupsi mungkin tidak langsung terlihat signifikan. Meski demikian, pembatasan periode ini dapat menjadi faktor pendukung, terutama dalam menutup peluang pembentukan jejaring kekuasaan yang mengakar. Selama dua periode, akses untuk membangun jaringan kekuasaan dan pengaruh dalam parlemen dapat lebih terkontrol dan, harapannya, mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang.
Pembatasan ini juga diharapkan dapat menutup celah bagi budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menggerogoti lembaga legislatif dari dalam. Tanpa pembatasan periode, anggota parlemen bisa saja terus menduduki jabatan untuk waktu yang lama, membentuk kekuasaan yang mengakar, yang pada akhirnya membuat masyarakat dirugikan karena minimnya ruang untuk calon-calon legislatif baru yang potensial. Di sinilah letak urgensi pembatasan, yakni demi melindungi hak konstitusional masyarakat untuk diwakili oleh orang-orang yang berkualitas, berintegritas, dan tidak terjebak pada jejaring kekuasaan.
Namun, solusi ini tetap memiliki catatan penting. Pembatasan masa jabatan di lembaga legislatif bukanlah sebuah solusi instan untuk memerangi korupsi. Perubahan regulasi harus disertai dengan pembenahan sistem pengawasan dan pemberian sanksi yang tegas bagi pelanggar etika dan hukum. Di samping itu, edukasi anti-korupsi dalam struktur partai politik yang lebih sistematis perlu dijalankan untuk memastikan bahwa setiap anggota legislatif, terlepas dari masa jabatannya, tetap memiliki integritas dan akuntabilitas.
Akhirnya, keputusan untuk membatasi masa jabatan legislatif ini berpulang pada putusan Mahkamah Konstitusi. Jika disetujui, hal ini akan membuka babak baru dalam perjalanan parlemen Indonesia, di mana kekuasaan tidak lagi menjadi milik individu dalam jangka waktu yang panjang, melainkan ruang yang terbuka untuk siapa saja yang memiliki kapabilitas dan niat tulus untuk membangun negeri. Dengan demikian, pembatasan masa jabatan tidak hanya sebagai wacana antikorupsi, tetapi juga sebagai sarana untuk mewujudkan pemerintahan yang inklusif dan partisipatif. (XRQ)
Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan-USK)