NUKILAN.id | Banda Aceh — Keberadaan pengungsi etnis Rohingya di perairan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, terungkap sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Hal ini disampaikan oleh Kepala Bidang Humas Polda Aceh, Kombes Pol. Joko Krisdiyanto, dalam konferensi pers yang digelar di Banda Aceh, Senin (21/10/2024).
Joko Krisdiyanto menjelaskan, penyelidikan awal kasus ini berawal dari penemuan mayat seorang perempuan di sekitar perairan Pelabuhan Labuhan Haji pada Kamis (17/10). Dalam waktu singkat, laporan masyarakat menyebutkan adanya sebuah kapal motor yang terombang-ambing di sekitar empat mil laut dari pantai Labuhan Haji
. “Setelah diselidiki, ditemukan 150 imigran Rohingya di kapal tersebut, tiga di antaranya telah meninggal dunia,” ujarnya.
Imigran yang berasal dari Cox’s Bazar, Bangladesh, ini dilaporkan berangkat antara 9 hingga 12 Oktober 2024. Mereka dilansir ke kapal nelayan KM Bintang Raseuki untuk menyeberangi Laut Andaman menuju perairan Aceh Selatan.
“Kapal ini dibeli terduga pelaku dengan harga Rp 580 juta sebulan lalu,” lanjut Joko.
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Aceh, Kombes Pol. Ade Harianto, menyampaikan bahwa jumlah awal imigran di kapal tersebut mencapai 216 orang. Namun, di tengah perjalanan, sekitar 50 orang berhasil mencapai Pekanbaru, Riau, dengan biaya perjalanan sebesar Rp 20 juta—meski baru membayar Rp 10 juta.
Pihak kepolisian berhasil menangkap tiga terduga pelaku penyelundupan manusia berinisial F (35), A (33), dan I (32).
“Kami masih memburu delapan pelaku lainnya,” kata Joko. Mereka kini terancam hukuman berdasarkan sejumlah pasal dalam undang-undang terkait keimigrasian dan pemberantasan TPPO.
“Penanganan kasus ini dilakukan oleh tim gabungan dari Polda Aceh dan Polres Aceh Selatan. Sementara penanganan terhadap etnis Rohingya akan dikoordinasikan dengan instansi terkait seperti imigrasi, IOM, dan UNHCR,” tutup Ade Harianto.
Kasus ini semakin memperlihatkan tantangan yang dihadapi oleh imigran Rohingya di wilayah perairan Indonesia, dan memunculkan keprihatinan mendalam akan nasib mereka yang terjebak dalam jaringan perdagangan manusia.
Editor: Akil