Siklus Budaya Kekerasan di Pesantren yang terus Berulang

Share

Nukilan.id – Baru-baru ini masyarakat Aceh dikejutkan dengan kasus kekerasan yang menimpa santri di salah satu pesantren di Aceh Barat. Dalam sebuah video yang viral di media sosial, Rabu (2/10/2024) menunjukkan salah seorang anak yang meringis kesakitan karena perih. Dia lantas menceburkan diri ke dalam bak mandi sambil menangis. Seorang perempuan yang merupakan neneknya berusaha menenangkan cucunya tersebut.

Anak tersebut bernama Teuku (15) yang diduga disiram dengan air cabai oleh salah seorang istri pimpinan Pesantren Inti Darul Hasanah di Kecamatan Pante Ceureumen, Aceh Barat berinisial NN (40). Selain disiram dengan air cabai, kepala Teuku juga digunduli. Dia dinilai telah melakukan pelanggaran karena ketahuan merokok.

Polisi lantas langsung memeriksa terduga pelaku. Kasatreskrim Polres Aceh Barat, Iptu Fachmi Suciandy mengatakan Penyidik Reserse Polres Aceh Barat telah melakukan pemeriksaan kepada NN terkait viralnya video kasus kekerasan terhadap anak pada lembaga pendidikan tersebut. Fachmi menyebutkan kasus dugaan penganiayaan itu terjadi pada Senin (30/9/2024) lalu. Lantas, pada Selasa (1/10/2024), keluarga korban melaporkan kasus tersebut kepada Polres Aceh Barat dengan nomor Laporan Polisi Nomor: LP/B/123/X/2024/SPKT/POLRES ACEH BARAT/POLDA ACEH.

Lalu, pada Jumat (4/10/2024), NN ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Aceh Barat. Kapolres Aceh Barat, AKBP Andi Kirana mengatakan polisi telah menetapkan istri pimpinan pondok pesantren yang berinisial NN tersebut menjadi tersangka penganiayaan santri.

Dikecam Publik

Kasus ini menjadi sorotan dan dikecam oleh publik di Aceh. Kasus ini dianggap hanya semakin menguatkan stigma pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tidak ramah terhadap anak dan penuh dengan teror dan tradisi kekerasan.

Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA) mengecam tindak kekerasan di pesantren seperti yang dialami oleh Teuku.

“Kami mengecam peristiwa dugaan tindak kekerasan yang terjadi di salah satu pondok pesantren di Aceh Barat. Seorang santri bernama Teuku (15) menjadi korban kekerasan fisik yang dilakukan istri pimpinan pesantren berinisial NN (40), pada Senin, 30 September 2024,” kata Koordinator Nasional JPPRA, Kiai Yoyon Syukron Amin dalam keterangan resminya, Jumat (4/10/2024).

Menyikapi hal tersebut, JPPRA secara tegas menolak segala bentuk kekerasan terhadap santri di lingkungan pesantren, baik fisik maupun psikis. Yoyon menambahkan kekerasan tidak pernah dapat dibenarkan sebagai bentuk disiplin dalam lembaga pendidikan, terutama pesantren yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendidik.

“JPPRA juga sangat menghormati hak-hak anak sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan salah, eksploitasi, serta kekerasan fisik dan mental,” kata Yoyon.

Praktisi hukum yang terlibat dalam advokasi perlindungan anak, Hermanto mengatakan bahwa kekerasan yang dilakukan NN adalah perbuatan yang tidak bisa dimaafkan dan harus dihukum seberat-beratnya agar tak ada korban lainnya di masa depan.

Menurutnya, tindakan tersebut sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam dan merupakan penghinaan terhadap moralitas.

“Sebagai seorang pemimpin pondok pesantren, dia seharusnya menjadi teladan, bukan melakukan tindakan barbar seperti ini. Ini jelas melanggar hukum dan tidak bisa dibenarkan,” ujar Hermanto, dikutip Nukilan dari Dialeksis, Kamis (3/10/2024).

Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh dan juga Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Aklima mengatakan penerapan hukuman berupa kekerasan fisik dalam lembaga pendidikan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

Menurut dia, masih banyak pihak yang membiarkan tindakan kekerasan kepada anak dengan dalih pendisiplinan. Hal ini menurutnya tak bisa dibenarkan.

“Pemberian hukuman dalam bentuk kekerasan fisik adalah metode pembelajaran yang sudah usang. Kita perlu mendorong metode belajar dan pengasuhan yang lebih humanis,” kata Aklima kepada Nukilan, Jumat (4/10/2024).

Bahkan, beberapa hari sebelum peristiwa ini terjadi, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap pendidik atau tenaga kependidikan hukumnya haram.

Hal itu tertuang dalam salah satu poin Rancangan Fatwa MPU Aceh yang dibacakan Kabag. Persidangan MPU Aceh, Ahmad Taufik saat penutupan Sidang Paripurna di Gedung Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba MPU Aceh, Kamis (26/9/2024). Sidang ini melahirkan lima poin fatwa dan 11 poin tausiyah.

“Pendidik atau tenaga kependidikan dalam pandangan Islam berkedudukan sebagai wakil dari orang tua atau wali dari peserta didik. Oleh karenanya wajib ditaati dan dihormati,” ujar Ahmad Taufik dilansir dari laman resmi MPU Aceh, Jumat (27/9/2024).

Budaya Kekerasan

Masifnya kasus kekerasan yang terjadi hingga membuat korban meninggal di lingkungan pesantren kian menabalkan permisifnya budaya kekerasan lembaga pendidikan. Sebelum kasus penyiraman air cabai di Aceh Barat, beberapa kasus kekerasan serupa atau bahkan lebih parah yang membuat santri meninggal dunia marak terjadi di Indonesia.

Pada 20 November 2022 lalu, seorang santri Pondok Pesantren Takmirul Islam, Masaran, Sragen, Jawa Tengah bernama Daffa Washaf Waluyo (14) meninggal dunia secara tak wajar akibat dianiaya seniornya sehari sebelumnya. Dalam sidang yang digelar pada Jumat (5/5/2023) lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sragen memvonis MH (17) dengan hukuman enam tahun penjara dan denda Rp50 juta karena terbukti menganiaya juniornya, Daffa hingga berujung kematian.

Lalu pada 10 September 2023 lalu, salah seorang santri pondok pesantren di Klepu Pringsurat, Temanggung, Jawa Tengah tewas setelah dikeroyok delapan orang teman satu kamar di pesantren tersebut. Dia dianiaya lantaran diduga mencuri uang temannya. Pengurus pondok pesantren sempat melarikan korban ke Puskesmas Rejosari Pringsurat. Namun karena tutup lalu dibawa ke rumah inap Gumuk Walik, Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang. Korban diketahui meninggal dalam perjalanan.

Kemudian pada 4 Desember 2023, salah seorang santri Pondok Pesantren Husnul Khotimah Kuningan, Jawa Barat berinisial MHAD (18) meninggal dunia setelah menjadi korban pengeroyokan oleh temannya sendiri sesame santri di ponpes tersebut. Dipicu oleh perselisihan kecil antara korban dan sesama teman santri lain sehingga terjadi pemukulan. Ternyata, aksi pemukulan tersebut berlanjut hingga dini hari keesokan harinya.

Para pelaku pemukulan kemudian membawa korban ke gudang di lantai satu lalu menguncinya dari luar. Korban ditemukan oleh wali asrama dalam kondisi masih sadar dengan sejumlah luka lebah di tubuh. Korban kemudian dirujuk ke RSUD ’45 Kuningan dan harus menjalani operasi. Sehari setelah operasi, kondisi korban memburuk dan meninggal dunia pada Senin (4/12/2023) pagi.

Teranyar, kasus penganiayaan santri yang berujung kematian terjadi di Pondok Pesantren Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyyah Kediri, Jawa Timur pada 23 Februari 2024 lalu. Korban bernama Bintang Balqis Maulana (14) tewas dihajar empat seniornya. Pelaku berdalih dibuat jengkel oleh korban. Kasus ini terkuak setelah video kemarahan keluarga korban kepada korban yang mengantarkan jenazah Bintang viral. Di video tersebut tampak darah masih berceceran dari kain kafan korban. Polisi kemudian menetapkan empat orang tersangka, yaitu MN (18) asal Sidorjo, MA (18) asal Nganjuk, AF (16) asal Denpasar, dan AK (17) asal Surabaya.

Farhan Arif Sumawiharja dan Muhammad Mustofa dalam jurnal “Kekerasan Fisik di Pondok Pesantren dan Pencegahannya” (2023) menjelaskan pesantren menciptakan kondisi hierarki yang muncul dari sosok kyai atau pemimpin pesantren yang mendapatkan pengkultusan dari para santri dan tenaga pendidik di pesantren. Struktur hierarki itu disalurkan dari atas ke bawah kepada pengasuh dan ustaz di pesantren, dan kemudian didelegasikan dalam pendisiplinan kepada santri senior.

“Struktur hierarki tersebut memunculkan extreme authority. Kondisi tersebut mendorong adanya pelaku yang termotivasi dan menciptakan suatu kondisi yang memposisikan santri junior sebagai korban yang tepat atau rentan dari kasus kekerasan fisik,” tulis Farhan dan Mustofa.

Sementara Ahmad Natsir dan Khabibur Rohman dalam “Kekerasan di Pondok Pesantren: Aktor, Motif, dan Sebaran Geografis” (2024) menyebutkan 67 persen pelaku tindak kekerasan di pesantren adalah senior atau orang yang oleh pengelola pondok pesantren diberi kepercayaan mengurus pondok pesantren. Sedangkan pemicu terjadinya kasus adalah perselisihan antar individu dan tuduhan pencurian. Sementara motif tindak kekerasan didominasi oleh motif memberikan hukuman yang diniatkan “untuk mendisplinkan”.

“Penting bagi pesantren untuk memberikan kewenangan yang jelas, terukur, dan termonitor kepada senior atau pengurus, terutama dalam hal membina dan menyelesaikan masalah di pesantren. Selain itu, pesantren perlu mengupayakan agar nilai welas asih dan antikekerasan yang merupakan inti ajaran agama Islam tidak hanya sebatas menjadi pengetahuan, tapi juga menjadi habit yang terus dilatihkan,” demikian ditulis Natsir dan Rohman dalam jurnal tersebut. ***

Reporter: Sammy

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News