DPDA Angkat Suara Terkait Kasus Kekerasan Terhadap Santri di Aceh Barat

Share

NUKILAN.id | Banda Aceh – Kasus dugaan kekerasan terhadap seorang santri bernama Teuku di Pesantren Darul Hasanah telah mengejutkan masyarakat Aceh dan menjadi viral di media sosial. Dilansir dari Laman berita RRI, Teuku diduga disiram dengan air cabai oleh istri pimpinan pesantren, menyebabkan tubuhnya mengalami luka perih, memerah, dan membengkak.

Menanggapi hal ini, Nukilan.id melakukan wawancara dengan pihak Dinas Pendidikan Dayah Aceh (DPDA) untuk meminta tanggapan terkait kasus tersebut. Kepala Bidang Santri DPDA, Irwan S.Hi M.Si, menyatakan bahwa pihaknya telah menerima laporan terkait insiden ini.

“Secara lisan, kami sudah menerima laporan dari DPDA Kabupaten Aceh Barat. Mereka juga sedang berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan setempat untuk segera turun ke lokasi untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut,” katanya kepada Nukilan.id, Rabu (2/10/2024).

Menurut informasi yang diperolehnya, Irwan menjelaskan bahwa insiden ini bermula ketika Teuku diduga melakukan pelanggaran, yang sebelumnya telah dijatuhi hukuman potong rambut.

“Namun, kenapa penyiraman itu masih bisa terjadi? Ini kan menjadi pertanyaan,” tambahnya.

Ketika ditanyakan terkait sanksi yang mungkin dijatuhkan kepada pesantren jika terbukti bersalah, Irwan menegaskan bahwa, sanksi hukum tetap akan berlanjut jika pihak korban membawanya ke ranah hukum, begitupun dengan sanksi sosial juga akan muncul dari masyarakat.

‘Terkait operasional, perlu diketahui DPDA ini hanya memiliki peran dalam pembinaan, bukan dalam pemberian izin operasional dayah, yang berada di Kantor Kementerian Agama,” jelasnya.

Irwan juga mengungkapkan keprihatinannya atas situasi tersebut, terutama dalam konteks upaya pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan. Padahal pihak DPDA sendiri sedang gencar sosialisasi bahaya kekerasan di dayah.

“Pemerintah Aceh dalam hal ini DPDA, telah mengirimkan surat edaran kepada para Bupati/Walikota se-Aceh dan pimpinan dayah agar lebih aktif mencegah segala bentuk kekerasan,” ungkapnya.

Lebih jauh, Irwan menekankan pentingnya memastikan agar korban tetap bisa melanjutkan pendidikan meski mengalami trauma.

“Kita harus pastikan si korban jangan sampai dia putus pendidikan akibat trauma. Nantinya kami akan menyarankan kepada DPDA setempat untuk bekerja sama dengan lembaga pemberdayaan perempuan dan anak untuk membantu psikologis korban,” tutupnya.

Kasus ini terus berkembang, dan masyarakat menantikan langkah-langkah konkret dari pihak berwenang untuk menangani permasalahan kekerasan di lingkungan pesantren. (XRQ)

Reporter: Akil Rahmatillah

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News