Bola Panas Korupsi Timah yang Rugikan Negara hingga Rp300 Triliun

Share

Nukilan.id – Kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022 belakangan mendapatkan perhatian dari publik lantaran menyeret nama sejumlah pesohor serta mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp300 triliun termasuk dampak lingkungannya.

Jumlah ini membuat kasus korupsi timah menjadi kasus korupsi dengan kerugian terbesar negara sepanjang sejarah Indonesia, mengalahkan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang terjadi saat krisis moneter dulu pada tahun 1997 dengan kerugian negara mencapai Rp138,44 triliun akibat kasus tersebut.

PT TIMAH Tbk sendiri merupakan Perusahaan Perseroan yang didirikan pada 2 Agustus 1976 silam. Perusahaan ini merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang pertambangan timah dan telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak tahun 1995.

Perusahaan ini memiliki IUP di darat dan lepas pantai Bangka, Belitung, dan Pulau Kundur seluas 473.310 hektar. Segmen usaha perusahaan ini bergerak dalam hal penambangan timah terintegrasi mulai dari kegiatan eksplorasi, penambangan, pengolahan, pengangkutan, serta pemasaran.

MoU Perusahaan-perusahaan Fiktif

Awalnya, pada 2018 lalu, CV Venus Inti Perkasa (VIP) melakukan perjanjian kerja sama atau Memorandum of Understanding (MoU) dan menyewa peralatan processing peleburan timah dengan PT Timah Tbk, Kepulauan Bangka Belitung. Pemilik CV VIP, Tamron alias Aon menyuruh Manajer Operasional Tambang CV VIP, Achmad Albani untuk menyediakan biji timah dengan cara membentuk beberapa perusahaan fiktif. Akhirnya dibuatlah CV SEP, CV MJP, dan CV MB yang menambung biji timah ilegal dari IUP PT Timah Tbk.

Agar kegiatan itu terlihat legal, PT Timah lalu menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) yang ditandatangi oleh Direktur Utama, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani. Dia lantas menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan itu memperoleh kontrak kerja borongan pengangkutan sisa hasil timah.

Kejaksaan Agung (Kejagung) Bangka Belitung kemudian menahan Aon dan Albani. Namun belakangan, kasus ini berkembang dengan skala yang lebih besar dengan potensi kerugian negara dan jumlah tersangka yang terus bertambah.

Kejagung kemudian menahan tersangka lainnya, yaitu Suwito Gunawan dan MB Gunawan, masing-masing sebagai Komisaris dan Direktur PT Stanindo Inti Perkasa. Perusahaan mereka melakukan perjanjian kerja sama dengan PT Timah Tbk terkait sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah pada 2018 dengan PT Timah Tbk.

Perjanjian ini terbit dengan persetujuan petinggi PT Timah Tbk, yaitu Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah Tbk 2016-2021; Emil Ermindra, Direktur Keuangan PT Timah Tbk 2018; dan Alwin Albar, Direktur operasional PT Timah Tbk. Belakangan ketiganya ditahan oleh Kejagung sebagai tersangka.

Kejagung kemudian mengembangkan kasus ini dan menahan lebih banyak tersangka. Pada 28 Maret 2024, Kejagung menahan sembilan tersangka lainnya. Mereka adalah Hasan Tjhie, Direktur Utama CV VIP; Kwang Yung alias Buyung, mantan komisaris CV VIP; Robert Indarto, Direktur Utama PT SBS; dan Suparta, Dirut PT Refined Bangka Tin (RBT).

Selanjutnya Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan PT RBT; Rosalina, GM PT Tinindo Inter Nusa (TIN); Toni Tamsil, pengusaha swasta asal Bangka; Helena Lim, Manager PT QSE; dan Harvey Moeis, perwakilan PT RBT. Dua nama terakhir adalah pesohor yang terkenal sebagai crazy rich yang kerap memamerkan gaya hidup mewah mereka di media sosial. Harvey Moeis juga merupakan suami dari artis Sandra Dewi.

Helena yang bekerja sebagai manajer di PT QSE memberikan sarana dan fasilitas kepada para pemilik smelter dengan dalih menerima atau menyalurkan dana corporate social responsibility (CSR). Sementara Harvey bekerja sama dengan Dirut PT Timah Tbk, Reza dalam hal sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah di wilayah IUP PT Timah Tbk.

PT Timah Tbk mengeluarkan biaya pelogaman di PT SIP selama tahun 2019 hingga 2022 sebesar Rp975.581.982.776 dengan total pembayaran bijih timah sebesar Rp1.729.090.391.448. Saat itu, Kejagung mengestimasi kerugian negara mencapai Rp271 triliun.

“Tersangka HM mengkondisikan agar smelter PT SIP, CV VIP, PT SBS, dan PT TIN mengikuti kegiatan tersebut. Setelah pemeriksaan kesehatan untuk kepentingan penyidikan, yang bersangkutan ditahan,” ujar Direktur Penyidikan di Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Kuntadi dalam keterangan tertulis, Kamis (28/3/2024).

Lembaga Transparansi Anggaran dan Anti Korupsi Indonesia (Lemtaki) menduga Helena dan Harvey hanyalah sekadar sebagai operator dalam kasus ini. Mereka diduga bekerja untuk aktor intelektual di belakang mereka.

22 Orang Ditetapkan sebagai Tersangka

Pada 13 Juni 2024, Kejagung menetapkan enam tersangka lainnya. Jaksa Tindak Pindana Khusus (Jampidsus) Kejagung melimpahkan tersangka dan barang bukti tahap 2 perkara timah ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Tersangka tersebut yaitu Hendry Lie selaku beneficial owner atau pemilik manfaat PT TIN; Fandy Lie yang merupakan marketing PT TIN sekaligus adik Hendry Lie; Suranto Wibowo sebagai Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung 2015-2019; Rusbani sebagai Plt Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung Maret 2019; Amir Syahbana yang merupakan Plt Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung; dan Bambang Gatot Ariyono, mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM periode 2015-2022. Dengan demikian, total tersangka yang telah ditahan Kejagung menjadi 22 orang.

Sementara terkait dengan kerugian negara yang sebelumnya ditaksir mencapai Rp271 triliun, kini bertambah lagi totalnya menjadi Rp300 triliun. Kejagung dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BKBP) dalam konferensi persnya mengatakan angka kerugian ini bersumber dari tiga komponen perhitungan.

Pertama, biaya sewa smelter oleh PT Timah Tbk sebesar Rp2,85 triliun. Kedua, pembayaran bijih timah ilegal oleh PT Timah Tbk ke mitra penambang yang merugikan negara sebesar Rp26,649 triliun. Dan terakhir, kerugian negara karena kerusakan lingkungan yang dihitung oleh ahli lingkungan Bambang Hero Saharjo dari IPB, yaitu mencapai sebesar Rp271,06 triliun.

Mantan General Manager PT Timah Tbk Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Ahmad Syahmadi yang hadir sebagai saksi dalam sidang perkara korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moeis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2024) mengungkapkan ada kesepakatan pembagian kuota ekspor biji timah antara PT Timah Tbk dan dengan smelter swasta. Pertemuan dengan 25 smelter swasta, termasuk Harvey yang mewakili PT RBT di Hotel Borobudur, Jakarta pada 2018 lalu itu dihadiri mantan Gubernur Bangka Belitung, Erzaldi Rosman dan Kapolda Bangka Belitung saat itu, Saiful Zuhri.

Ahmad Syahmadi dalam sidang tersebut, dilansir Tempo, juga mengungkapkan bahwa Direktur Tindak Pidana (Dirtipid) Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Mukti Juharsa diduga menjadi admin grup WhatsApp bernama ‘New Smelter’, untuk memuluskan tindak pidana korupsi izin usaha pertambangan PT Timah Tbk.

Potret Buruk Tata Kelola Sektor Ekstraktif

Besarnya skala kasus dan kerugian negara yang disebabkan oleh perkara ini membuat berbagai pihak mengkritik pengelolaan tambang timah di Indonesia saat ini. Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Herman Khaeron mengatakan angka kerugian negara dalam kasus ini sangatlah fantantis dan menunjukkan bahwa PT Timah Tbk tidak becus dalam mengelola tambang timah.

“PT Timah nggak urus pertambangan kawasan timah tidak diurus dengan baik. Maka pantas kemudian banyak pemain ilegal masuk dan manfaatkan celah di luar konteks manajemen,” kata Herman saat rapat dengar pendapat dengan PT Timah, dilansir dari Bisnis, Selasa (24/4/2024).

Sementara Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan kasus korupsi timah ini menunjukkan potret buruk dari tata kelola sektor ekstraktif di Indonesia. Selain itu, perlu ada pengembangan kasus untuk menjerat aktor lain yang terlibat sebagai tersangka. Pemerintah dalam kasus ini dinilai lalai memastikan tata kelola ekstraktif yang baik. ICW mengatakan setidaknya dua kementerian, yaitu Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM telah gagal menjalankan tugasnya.

“ICW akan terus mendorong Kejagung untuk memasukkan aspek kerusakan lingkungan dalam kalkulasi kerugian yang ditimbulkan dari kasus korupsi PT Timah,” demikian disampaikan ICW dalam keterangan tertulisnya, Senin (1/4/2024) lalu. ***

Reporter: Sammy

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News