NUKILAN.id | Banda Aceh – Hari ini, Aceh memperingati 19 tahun perdamaian yang mengakhiri konflik bersenjata yang berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia. Pada 15 Agustus 2005, sebuah kesepakatan damai yang dikenal dengan nama MoU Helsinki ditandatangani di Helsinki, Finlandia, menjadi penanda berakhirnya perang yang telah berlangsung sejak 1976.
Setelah hampir dua dekade, bagaimana warga Aceh merasakan dan menilai perdamaian yang tercipta? Untuk menjawabnya Nukilan.id melakukan wawancara dengan sejumlah warga di Banda Aceh untuk menggali tanggapan serta harapan mereka terkait 19 tahun damai di Aceh.
Seorang warga Banda Aceh, Yusuf, mengatakan bahwa ia dulunya sempat merasakan langsung dampak konflik, mengungkapkan rasa syukurnya atas perdamaian yang tercipta.
“Dulu, hidup dalam bayang-bayang ketakutan sudah menjadi bagian dari keseharian kami. Sekarang, setelah 19 tahun, anak-anak bisa sekolah tanpa khawatir, dan masyarakat bisa bekerja dengan tenang. Ini adalah anugerah yang harus kita jaga,” ujar Yusuf kepada Nukilan.id, Kamis (15/8/2024).
Menurutnya, meski kondisi damai telah tercipta, namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, terutama dalam hal pemerataan pembangunan dan kesejahteraan.
“Kita bersyukur konflik berakhir, tapi kita juga harus mengawal agar hasil dari perdamaian ini bisa dirasakan merata oleh seluruh masyarakat Aceh,” tambah Yusuf.
Hal senada juga diungkapkan oleh Nuraini, warga asal Lhokseumawe, berharap agar peringatan hari damai ini tidak hanya menjadi seremonial semata. Ia menekankan pentingnya pembangunan yang merata di seluruh Aceh agar semua masyarakat dapat merasakan manfaat dari perdamaian tersebut.
“Setiap tahun kita memperingati hari damai, tapi harapan saya bukan hanya sekadar memperingati. Pemerintah dan semua pihak harus terus bekerja sama untuk menjaga dan memperbaiki kondisi ekonomi, pendidikan, serta kesejahteraan rakyat Aceh. Jangan sampai kita lengah,” kata Nuraini.
Sementara itu, Rizki, seorang mahasiswa di Universitas Syiah Kuala, melihat perdamaian sebagai kesempatan bagi generasi muda Aceh untuk lebih maju dan berdaya saing.
“Kami, sebagai generasi muda, punya tanggung jawab besar untuk menjaga dan meneruskan semangat damai ini. Damai harus menjadi fondasi bagi kami untuk menciptakan inovasi dan berkarya demi Aceh yang lebih baik,” ujar Rizki.
Rizki berharap agar pemerintah lebih mendukung program-program yang melibatkan pemuda dalam pembangunan, terutama yang berkaitan dengan teknologi dan kewirausahaan.
“Jangan biarkan generasi muda Aceh tertinggal. Kita harus bisa bersaing di tingkat nasional dan global,” tutupnya.
Dari berbagai wawancara tersebut, satu pesan yang muncul dengan jelas adalah pentingnya menjaga perdamaian yang telah dicapai. Warga Aceh menyadari bahwa perdamaian adalah modal berharga yang harus terus dirawat dan dikembangkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat.
Momentum peringatan 19 tahun damai ini diharapkan menjadi refleksi bagi semua pihak untuk terus menjaga dan memupuk perdamaian, serta mewujudkan harapan-harapan masyarakat yang telah lama merindukan kehidupan yang damai, sejahtera, dan berkeadilan. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah