NUKILAN.ID | Jakarta – Pemerintah Indonesia tengah merancang pembentukan family office di dalam negeri, dengan harapan dapat menarik minat keluarga-keluarga kaya dari luar negeri untuk menyimpan dan menginvestasikan dananya di Tanah Air. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, optimistis konsep ini akan menarik investor asing, dan menyebut bahwa sudah ada beberapa investor yang menunjukkan minat untuk mendaftar.
“Sudah ada beberapa investor asing yang menyatakan minat mereka. Malah, luar biasa. Mereka bahkan sudah mendaftar, dan mungkin dalam dua atau tiga minggu ke depan kita akan memberi tahu lebih lanjut,” ujar Luhut dalam acara The Global Dialogue on Sustainable Ocean Development di Denpasar, Jumat (5/7/2024).
Namun, rencana ini mendapat tanggapan skeptis dari berbagai pihak. Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menilai family office bukanlah instrumen yang menjanjikan untuk menarik investasi asing dalam skala besar.
“Family office bukanlah strategi utama untuk menarik investasi besar ke negara manapun, kecuali ada insentif khusus seperti pembebasan pajak atau fasilitas riset seperti di Irlandia,” kata Ronny. Ia menilai istilah family office ini lebih sebagai upaya meramaikan arena investasi nasional karena skema investasi asing langsung yang konvensional dianggap gagal.
Ronny juga meragukan dampak signifikan dari penerapan family office di Indonesia. Menurutnya, skema ini hanya akan menarik minat investor untuk membangun properti seperti vila atau bungalo di Bali, yang sudah menjadi bagian dari investasi pariwisata normal.
“Memang benar, family office bisa membawa devisa karena uang dari luar negeri masuk ke Indonesia. Tapi pertanyaannya adalah, apa yang ditawarkan oleh pemerintah yang dapat membuat para investor tertarik untuk membangun family office di sini? Hal itu belum terjawab,” tambah Ronny.
Selain itu, Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, juga mengkritik rencana ini sebagai kebijakan sporadis yang lebih berfokus pada jangka pendek untuk mendongkrak pasokan valuta asing di tengah pelemahan nilai rupiah.
“Pemerintah tampaknya panik dan ingin cepat-cepat meningkatkan pasokan dolar AS agar rupiah yang kini berada di kisaran Rp16.400 bisa menguat. Namun, potensi keuntungan dari pembentukan family office ini tidak sebanding dengan risikonya,” ujar Yusuf.
Yusuf juga menekankan bahwa persaingan di bisnis family office sangat ketat, terutama dari negara-negara yang sudah dikenal sebagai tax haven dan pusat keuangan dunia seperti Singapura, Swiss, Inggris, dan Hong Kong. Ia menilai, Indonesia tidak dapat dengan instan membangun kerangka regulasi dan infrastruktur yang setara dengan negara-negara tersebut.
“Lebih baik pemerintah fokus pada upaya peningkatan penerimaan pajak dari kelas terkaya di Indonesia yang selama ini cenderung luput dari pengenaan pajak. Family office justru berpotensi menjadi celah baru bagi praktik pencucian uang,” tegas Yusuf.
Dalam konteks ini, pemerintah diharapkan lebih bijak dan berhati-hati dalam merancang kebijakan yang berkaitan dengan upaya menarik investasi asing, khususnya melalui skema family office. Transparansi, kepastian hukum, dan insentif yang jelas menjadi kunci penting untuk menarik minat investor global.
Editor: Akil