NUKILAN.id | Banda Aceh — Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, menggugat Penjabat (Pj) Gubernur Aceh ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh. Gugatan tersebut dilayangkan lantaran Pj Gubernur menolak menandatangani rekomendasi persetujuan terhadap Term & Condition yang telah disepakati oleh Pertamina EP, Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Gugatan ini didaftarkan pada Jumat (9/8/2024) dengan Nomor Register PTUN BNA-09082024DUF, Perkara Gugatan 32/G/TF/2024/PTUN.BNA melalui layanan e-Court. Safaruddin menilai keputusan Pj Gubernur tersebut berpotensi merugikan Aceh karena menyangkut pengelolaan Blok Migas di wilayah Aceh.
Langkah hukum yang diambil Safaruddin mendapat tanggapan beragam dari masyarakat Aceh. Di lapangan, tim Nukilan.id mendapati adanya perbedaan pendapat antara warga yang mendukung dan yang menolak tindakan tersebut.
Masyarakat yang mendukung tindakan Ketua YARA ini berpendapat bahwa langkah Pj Gubernur yang menolak menandatangani rekomendasi tersebut menunjukkan adanya keengganan untuk memaksimalkan potensi Blok Migas di Aceh. Salah seorang warga Banda Aceh, Zulkifli, mengungkapkan keprihatinannya.
“Sudah mulai nampak arah si Bustami ini ke mana. Kok dia tidak mau Blok Migas di Aceh dikelola oleh Aceh sendiri?,” ujar Zulkifli kepada Nukilan.id, Sabtu (11/8/2024).
Masyarakat yang pro terhadap langkah Ketua YARA juga menilai bahwa penolakan tersebut dapat berdampak buruk pada perekonomian Aceh, terutama dalam hal penyediaan lapangan kerja.
“Padahal Aceh ini butuh banyak perusahaan untuk lapangan kerja masyarakat yang nganggur, kenapa Pj Gubernur menolak,” ungkap Fitri, seorang sarjana yang masih mencari pekerjaan.
Sementara itu, pihak yang kontra terhadap gugatan tersebut berpendapat bahwa penolakan Pj Gubernur Aceh mungkin didasarkan pada pertimbangan biaya operasional yang lebih besar dibandingkan dengan produksi yang dihasilkan. Salah satu warga, Andi, menyatakan bahwa masyarakat tidak seharusnya terburu-buru menyalahkan Pj Gubernur.
“Jangan cepat menyalahkan, dilihat dulu penyebabnya. Mungkin biaya operasional lebih besar dari produksi yang dihasilkan, sehingga rugi,” kata Andi.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Nurul. Ia menyoroti bahwa Pj Gubernur tidak memiliki kewenangan untuk menandatangani perjanjian atau MoU.
“Seorang Pj Gubernur tidak mempunyai kewenangan menandatangani agreement atau MoU, karena yang berhak adalah gubernur definitif,” jelas Nurul.
Gugatan yang diajukan oleh Ketua YARA ini telah membuka perdebatan di kalangan masyarakat Aceh. Pro dan kontra terhadap tindakan Pj Gubernur semakin memperlihatkan betapa pentingnya isu pengelolaan sumber daya alam bagi masa depan Aceh. Masyarakat kini menanti keputusan dari PTUN Banda Aceh yang diharapkan dapat memberikan kepastian hukum terkait masalah ini. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah