Utak-Atik Program Makan Bergizi Gratis: Antara Janji dan Realitas

Share

NUKILAN.id | Opini – Program “makan bergizi gratis” yang digagas oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto dalam kampanye Pemilihan Presiden 2024 telah mencuri perhatian publik. Program ini, yang kini lebih dikenal dengan nama “makan bergizi gratis,” bertujuan untuk memberikan asupan makanan sehat kepada jutaan anak dan ibu di Indonesia. Namun, belakangan ini muncul perdebatan terkait biaya program ini dan dampaknya terhadap anggaran negara.

Awalnya, program ini dilontarkan dengan janji makan siang gratis untuk siswa dan kelompok rentan lainnya. Namun, perubahan istilah menjadi “makan bergizi gratis” dan perubahan biaya yang diklaim berkisar antara Rp 7.500 hingga Rp 15.000 per porsi telah menimbulkan sejumlah pertanyaan. Ekonom Heriyanto Irawan mengungkapkan bahwa biaya tersebut bisa mencapai Rp 9.000 atau Rp 7.500 per porsi. Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendi menyatakan bahwa angka Rp 7.500 sudah cukup memadai. Namun, calon wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka membantah angka tersebut, menegaskan bahwa saat ini tim masih mengkaji biaya Rp 15.000 per orang.

Pertanyaan besar pun muncul: seberapa realistiskah anggaran untuk program ini, terutama dengan kebutuhan yang mencapai sekitar Rp 300 triliun per tahun untuk 82,9 juta penerima manfaat?

Pemenuhan gizi yang layak bagi anak-anak Indonesia bukan sekadar slogan, melainkan sebuah keniscayaan. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sekitar 65 persen anak sekolah di Indonesia tidak sarapan, dan angka stunting masih tinggi, yaitu 21,5 persen. Dengan demikian, program makan bergizi gratis ini menjadi langkah yang sangat relevan dan mendesak.

Pentingnya peningkatan gizi anak tak bisa dianggap remeh. Survei Bank Dunia 2018 mengungkapkan bahwa 55 persen anak usia sekolah di Indonesia tidak dapat memahami bacaan mereka, sebuah indikasi rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan. Program ini bukan hanya soal memberikan makanan, tetapi juga berkontribusi pada perbaikan kualitas SDM dan pengurangan angka putus sekolah yang semakin meningkat.

Negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan telah lebih dulu menerapkan program makan bergizi untuk siswa dengan konsistensi yang tinggi. Amerika, misalnya, sudah mengundangkan UU Makan Siang Nasional sejak 1946, dan Jepang mengikuti dengan UU Program Makan Siang Sekolah pada 1954. Hasilnya, negara-negara ini memiliki SDM yang unggul, perkembangan sains dan teknologi yang pesat, dan kapitalisasi ekonomi yang signifikan.

Indonesia, yang akan merayakan satu abad kemerdekaan pada 2045 dan mengalami bonus demografi, memerlukan terobosan seperti program ini untuk memaksimalkan potensi generasi mendatang. Program makan bergizi gratis ini bisa menjadi salah satu langkah strategis untuk memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang baik, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan mereka.

Maka dari itu, terlepas dari kontroversi biaya dan pengalokasian anggaran, program makan bergizi gratis Prabowo-Gibran harus dipandang sebagai upaya serius untuk memajukan Indonesia. Dengan komitmen yang kuat dan pelaksanaan yang transparan, program ini dapat membantu mengurangi kelaparan, stunting, dan putus sekolah, serta meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Melihat ke depan, kita harus memastikan bahwa setiap langkah yang diambil sejalan dengan tujuan besar Indonesia Emas 2045. Program ini adalah salah satu manifestasi dari upaya kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yang pada akhirnya akan membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik dan lebih maju. (XRQ)

Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan USK)

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News