Asian Value dalam Politik: Konsep Positif Berdampak Negatif

Share

NUKILAN.id | Opini – Baru-baru ini, istilah “Asian Value” kembali menjadi sorotan publik setelah dibahas dalam podcast di YouTube TotalPolitik. Pembahasan tersebut memunculkan diskusi menarik tentang dinamika politik dinasti yang kian menguat di Indonesia. Namun, apa sebenarnya “Asian Value” dan bagaimana hubungannya dengan praktik politik dinasti?

“Asian Value” merupakan ideologi politik yang berupaya mendefinisikan elemen-elemen budaya, sejarah, dan masyarakat yang umum di negara-negara Asia, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara. Konsep ini mulai diperkenalkan pada akhir abad ke-20 oleh sejumlah pemimpin negara dan cendekiawan di Asia. Di tengah perkembangan pesat perekonomian negara-negara Asia, nilai-nilai ini dianggap sebagai prinsip kolektivisme yang bertujuan menyatukan masyarakat demi kebaikan sosial dan ekonomi mereka.

Nilai-nilai ini seringkali dikaitkan dengan disiplin, kerja keras, kesederhanaan, pencapaian akademik, keseimbangan antara kebutuhan individu dan masyarakat, serta penghormatan pada otoritas berkuasa. Namun, di sisi lain, “Asian Value” kerap dipertahankan demi kepentingan rezim otoriter yang berkuasa di Asia. Pada era 1970-an, para pemimpin Asia menggunakan argumen “Asian Value” untuk menciptakan legitimasi politik, yang kemudian menjadi dasar bagi pemikiran otoritarianisme. Kini, relevansi nilai-nilai tersebut mulai pudar seiring dengan populasi yang semakin terdidik dan terpapar ide-ide global. Lalu, bagaimana kaitan “Asian Value” dengan politik dinasti?

Praktik politik kekerabatan yang sering disebut politik dinasti semakin masif terjadi. Praktik ini tidak hanya mengancam demokrasi, tetapi juga kerap dibarengi dengan penyalahgunaan wewenang serta karut-marut hukum dan aturan untuk memuluskan jalan kerabat atau orang tertentu demi meraih kekuasaan. Pemenuhan hak individu seharusnya mempertimbangkan hak-hak orang lain, terutama dalam konteks politik karena keputusan politik berpotensi memengaruhi banyak orang.

Dalam konteks ini, “Asian Value” banyak dikritik karena dianggap melanggengkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sistem politik dan birokrasi di negara-negara Asia, baik yang demokratis maupun otoriter, memiliki andil dalam menciptakan masyarakat yang korup. Di sisi sosial, “Asian Value” sering disalahartikan dan disalahgunakan untuk melegitimasi tindakan korupsi.

Kontroversi yang muncul menunjukkan bahwa perdebatan tentang “Asian Value” bukan hanya soal budaya dan ekonomi, tetapi juga berkaitan erat dengan praktik politik dan hak asasi manusia. Meskipun “Asian Value” mengandung nilai-nilai positif, penggunaan konsep ini dalam konteks politik dinasti tetap menimbulkan banyak pertanyaan dan kritik tajam. Nilai-nilai ini, yang seharusnya mengedepankan kesejahteraan kolektif, justru kerap digunakan sebagai tameng untuk mempertahankan kekuasaan segelintir elite politik.

Sebagai masyarakat yang semakin terdidik, kita perlu kritis terhadap penggunaan konsep “Asian Value” dalam politik. Meskipun ada aspek positif dalam nilai-nilai ini, kita harus waspada terhadap potensi penyalahgunaannya oleh mereka yang berkuasa. Dalam dunia yang semakin terhubung, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi landasan utama dalam praktik politik, menggantikan budaya patronase dan kekerabatan yang kian tidak relevan. [ART]

Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan-USK)

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News