NUKILAN.id | Banda Aceh – Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi, menegaskan bahwa demokrasi tetap menjadi pilihan terbaik untuk Indonesia meski memiliki berbagai kelemahan yang perlu diperbaiki. Hal ini disampaikannya dalam Internasional Conference Social and Governmental Science ke-3 di UIN Arraniry, Banda Aceh, yang digelar secara hybrid pada 5 Juni 2024. Saat itu, Fachrul Razi berada di Madrid, Spanyol, memimpin delegasi DPD RI.
Dalam paparannya, Fachrul Razi menjelaskan bahwa demokrasi, sebagai penerapan prinsip kebebasan mayoritas, adalah sistem yang disepakati dan dijalankan oleh mayoritas.
“Demokrasi adalah kesepakatan mayoritas dan kebijakan yang diambil oleh mayoritas,” ujarnya.
Tema utama yang diangkat dalam konferensi tersebut adalah “Preventing Democratic Backsliding and The Rule of Law Crisis: The Future of Indonesia’s Democracy.” Fachrul Razi menggarisbawahi sejumlah masalah yang muncul pasca transisi demokrasi di Indonesia, seperti pemberontakan massa, konflik etnis komunal, tingkat kemiskinan ekstrem, ketimpangan sosial ekonomi yang mencolok, inflasi kronis, utang luar negeri yang besar, terorisme, dan keterlibatan negara secara ekstensif dalam perekonomian.
Menurutnya, transisi demokrasi di Indonesia juga menghadapi tantangan dari kecenderungan kembali ke otoritarianisme.
“Tidak ada fakta atau kompromi antara kelompok status quo dan kelompok pro-demokrasi untuk memberantas semua bentuk penghadangan terhadap demokrasi. Ini menjadi hambatan besar bagi agenda perubahan signifikan ke arah demokrasi,” tegas Fachrul Razi.
Ia juga menyoroti problem pelembagaan demokrasi di Indonesia dari perspektif sistem dan aktor. Demokrasi prosedural yang cenderung artifisial menjadi penyebab tidak terbentuknya konsensus mengenai demokrasi di kalangan masyarakat.
“Pengabaian demokrasi prosedural terhadap kondisi struktur sosial-ekonomi mengakibatkan terbentuknya struktur ekonomi berbasis etnis dan kembalinya negara patrimonial serta politik identitas dalam tata politik Indonesia modern,” jelasnya.
Selain itu, Fachrul Razi menyoroti fenomena ‘pembajakan’ demokrasi, di mana birokrasi masih didominasi oleh orang-orang yang dididik di bawah rezim otoriter dan terlibat korupsi. Hal ini menyebabkan mereka tidak mampu melayani kepentingan publik.
“Muncul aktor-aktor baru dalam politik yang memanfaatkan peluang demokratisasi untuk kepentingan pribadi (free riders),” tambahnya.
Konsekuensinya, terbangun model demokrasi semu (pseudo democracy) di mana prosedur dan institusi demokrasi modern secara formal diadopsi, namun substansi demokrasi murni tidak terwujud. Demokrasi gagal mewujudkan kesejahteraan dan tidak ada pelembagaan nilai-nilai demokrasi.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, Fachrul Razi menyarankan sejumlah solusi, seperti menumbuhkan kultur demokrasi melalui pendidikan politik kewargaan (civic education) yang kritis agar masyarakat sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Selain itu, penegakan hukum yang tegas dan tidak diskriminatif sangat penting untuk memulihkan kepercayaan publik dan memperkuat legitimasi pemerintah.
“Menumbuhkan semangat moral dalam praktik politik, pemerintahan, dan pembangunan sangat penting agar perilaku elit politik dan ekonomi semakin dekat dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Perlu ada keberpihakan politik dan kedewasaan berpolitik, khususnya dari para elit sebagai pendorong demokratisasi,” tutup Fachrul Razi.
Editor: Akil Rahmatillah