NUKILAN.id | Banda Aceh – Belum lama ini Tari Langsir Haloban, tarian khas dari Desa Haloban, Kecamatan Pulau Banyak Barat, Aceh Singkil, resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Sertifikat WBTB tersebut diterima oleh Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Singkil, Edi Widodo, pada Rabu malam, 15 Mei 2024, dalam sebuah acara di Banda Aceh.
Lalu bagaimana sebenarnya sejarah Tari Langsir Haloban sehingga masuk dalam daftar warisan budaya tak benda? Kali ini Nukilan.id akan menyajikan sejarah dan nilai yang terkandung dalam Tari Langsir Haloban.
Berdasarkan penelusuran digital oleh Tim Nukilan.id, ternyata tari Langsir Haloban berasal dari Desa Haloban, Kecamatan Pulau Banyak Barat, Aceh Singkil. Tarian ini memiliki filosofi yang mencerminkan kehidupan masyarakat pesisir Kepulauan Banyak yang mengandalkan laut sebagai sumber penghidupan. Tarian ini kerap ditampilkan dalam berbagai kegiatan budaya di Aceh Singkil, termasuk acara pernikahan dan perayaan hari-hari besar Islam, sehingga keberadaannya tetap terjaga dengan baik.
Tari Langsir Haloban memiliki keunikan tersendiri, terutama dalam formasi geraknya yang menyerupai tarian Quadrilles dan Eightsome Reel dari Eropa, namun dengan gerakan dasar khas tari Joget Melayu pesisir. Asal-usul tarian ini tidak diketahui dengan pasti karena disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi.
Menurut booklet dari Kemendikbud, Tari Langsir Haloban biasanya dimainkan secara berpasangan dengan jumlah penari yang genap, yakni masing-masing delapan penari laki-laki dan delapan penari perempuan. Dalam beberapa variasi, penari perempuan dapat digantikan oleh penari laki-laki untuk menghindari pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah. Penari yang berperan sebagai perempuan akan diberi tambahan aksesoris seperti selendang dan kain samping.
Selama pertunjukan, Tari Langsir Haloban diiringi oleh musik khas pesisir seperti khedang (sejenis rebana) dan biola dengan alunan musik Melayu yang mirip dengan Gamad dari Padang. Jumlah pemain khedang berkisar antara dua hingga delapan orang, sementara pemain biola bisa satu hingga dua orang, tergantung kebutuhan.
Penari laki-laki biasanya mengenakan pakaian hitam-putih, sedangkan penari perempuan mengenakan pakaian yang menutup aurat seperti jilbab. Dalam acara tertentu seperti pernikahan, penari perempuan diberikan kostum seragam yang dirancang agar terlihat lebih apik dan menarik.
Tari Langsir Haloban terdiri dari tiga babak: pembukaan, eksebisi, dan penutup. Babak pertama menggambarkan pencarian pasangan, babak kedua menjalin pertemanan, dan babak ketiga merupakan gerakan akhir dan perpisahan. Dalam Tari Langsir versi Asantola, terdapat empat formasi gerak yang menjadi pola lantai: formasi berbaris, lingkaran, empat wajik, dan kincir. Setiap babak memiliki 32 ragam gerak dengan pola repetisi variatif.
Dalam Tari Langsir Haloban, terdapat Komandir yang memimpin tarian melalui perintah. Komandir ini memiliki skenario tersendiri untuk merangkai tarian, dan perbedaan skenario ini menjadi ciri khas setiap tari Langsir.
Perintah Komandir dalam Tari Langsir cukup unik, menggunakan kosakata Belanda dan Inggris seperti dames, meneer, last try, dan rom van drum, serta beberapa kata yang tidak diketahui asal-usulnya.
Tari Langsir Haloban memiliki nilai penting bagi etnis Haloban di Kepulauan Banyak Barat, mencerminkan nilai sejarah, estetika, pendidikan, religiusitas, serta kebersamaan dan kerukunan. Tarian ini menjadi bukti keberadaan etnis Haloban yang terbentuk dari proses asimilasi dan adaptasi dinamis dari generasi ke generasi.
Dharma Kelana Putra, peneliti Tari Langsir dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh, menyatakan bahwa Tari Langsir Haloban tidak hanya ditujukan untuk menghibur, tetapi juga memiliki nilai estetika tinggi dari segi gerak, irama, ruang, dan waktu. Gerakan yang dinamis dan atraktif menunjukkan keindahan dan makna tarian tersebut, menjadikannya seni yang kaya akan nilai budaya.
Reporter: Akil Rahmatillah