NUKILAN.ID | INDEPT – Masyarakat di nusantara memiliki ragam istiadat dan budaya dalam menyambut bulan suci ramadhan. Sebagai salah satu daerah yang mayoritas muslim, Aceh memiliki banyak ragam budaya Islam yang masih dilestarikan sampai saat ini. Banyak di antara budaya-budaya tersebut merupakan implementasi dari nilai-nilai agama normatif, kemudian diwujudkan dalam bentuk budaya atau tradisi yang melekat dalam kehidupan masyarakat.
Bagi Aceh, sudah sedari berabad abad mempraktikan tradisi makmeugang atau meugang dalam menyambut ramadhan. Meugang merupakan tradisi memasak daging dan menikmati bersama keluarga. Tidak heran pemandangan di hari jelang ramadhan, suasana pasar dipenuhi dengan daging. Juga penyembelihan hewan di meunasah dan kantor kantor.
Masyarakat Aceh menggelar tradisi meugang selama tiga kali dalam setahun, Meugang digelar untuk menyambut bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha. Masyarakat muslim Aceh meyakini, mereka harus menyambut hari-hari suci Islam tersebut dengan istimewa.
Masyarakat Aceh percaya bahwa nafkah yang dicari selama 11 bulan wajib disyukuri dalam bentuk tradisi Meugang. Tradisi ini menjadi bukti kuatnya rasa kebersamaan masyarakat Aceh dalam menyambut bulan Ramadan. Perayaan meugang ini juga menjadi momen penting untuk berkumpul seluruh keluarga. Biasanya pada hari meugang, anak dan sanak saudara yang merantau atau telah berkeluarga dan tinggal di tempat yang jauh, mereka akan pulang dan berkumpul di hari Meugang. Nilai kebersamaan inilah yang ingin ditanamkan oleh para leluhur melalui tradisi meugang.
Disisi lain banyak ragam asal usul tradisi meugang atau makmeugang di Aceh . hal inilah yang menarik tim nukilan id menelusuri dari berbagai sumber informasi dan data untuk mendalami trafisi meugang masyarakat aceh
Tradisi Meugang dan Kearifan lokal Aceh
Tradisi Meugang juga dikenal dengan beragam nama di berbagai daerah di Aceh. Meugang dikenal juga dengan sebutan Makmeugang, Uroe Meugang, Haghi Mamagang dan Keuneukoh. Konon, istilah ini muncul karena menjalang hari suci umat Islam, seperti ramadhan, idul fitri dan Idul Adha, masyarakat Aceh berduyun duyun mendatangi pasar yang dalam bahasa Aceh disebut “gang” . Hingga muncul istilah “Makmu that gang nyan “(makmur sekali pasar itu).
Ada yang menyebutkan bahwa perayaan meugang ini dilaksanakan oleh Sultan Iskandar Muda sebagai wujud rasa syukur raja menyambut datangnya bulan Ramadhan, sehingga dipotonglah lembu atau kerbau, kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada rakyat.
Menurut Herman RN, seorang penggiat budaya dan Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala. Menurutnya, tradisi Meugang telah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu, dimulai sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (160 -1636 Masehi) di Kerajaan Aceh. Hal itu sebagai wujud rasa syukur sultan menyambut bulan suci Rmaadhan. Pada masa itu, Sultan Iskandar Muda memotong hewan-hewan ternak secara besar-besaran dan membagikannya kepada masyarakat.
Setelah perang dan masuk penjajah Belanda, tradisi tersebut juga masih dilakukan yang dikoordinir oleh para hulubalang sebagai penguasa wilayah. Begitulah hingga saat ini tradisi meugang terus dilestarikan dan dilaksanakan oleh berbagai kalangan masyarakat Aceh.
Herman menjelaskan bahwa tidak melakukan Meugang dianggap sebagai sesuatu yang kurang dalam masyarakat Aceh, sejalan dengan pepatah yang mengatakan, “Hadih maja disebutkan adat meukoh reubong, hukom meukoh purieh; adat jeut berangkaho takhong, hukom hanjeut barangkapat takieh.”
Dalam ungkapan lain, Herman menyampaikan, “Meulangga hukom raya akibat, meulangga adat malee bak Donya,” yang berarti bahwa tidak melaksanakan Meugang dapat menimbulkan rasa malu, meskipun tidak ada hukuman yang ditetapkan secara resmi.
Uniknya pula Nelayan di Aceh menjalani masa libur melaut menjelang masuknya bulan Ramadan sebagai bagian dari tradisi meugang dan awal puasa bersama keluarga. Praktik ini, yang umumnya mengakibatkan mereka kembali ke laut pada hari ketiga atau kelima Ramadan, menunjukkan penghormatan terhadap nilai-nilai keagamaan serta kebutuhan untuk menyatukan keluarga dalam ibadah dan tradisi.
Ketua Panglima Laot Aceh, Miftach Tjut Adek, menjelaskan tradisi melaot paska meugang ini tidak berdampak negatif pada pendapatan nelayan karena telah direncanakan jauh-jauh hari oleh nelayan, pedagang, dan pemilik kapal. Mereka menyisihkan pendapatan mereka khusus untuk persiapan meugang dan Ramadan.
Praktik Meugang Masyarakat Aceh
Tata cara masyarakat dalam merayakan meugang berbeda-beda, terutama dalam upaya menyediakan daging untuk meugang. Setidaknya ada 4 (empat) model yang dipraktekkan oleh masyarakat Aceh dalam mengadakan daging untuk meugang.
Pertama, acara meuripee, yaitu masyarakat sepakat untuk mengumpulkan sejumlah uang dan membeli hewan sembelihan (lembu atau kerbau), kemudian nantinya daging akan dibagikan sesuai dengan jumlah orang yang ikut mengumpulkan uang atau meuripee tersebut. Cara seperti ini banyak dilakukan oleh masyarakat yang kebanyakan sudah mapan dan berpenghasilan tetap, sehingga diantara mereka bisa melunasinya dalam beberapa kali. Model seperti ini juga dilakukan oleh para guru dan karyawan di perkantoran, baik negeri maupun swasta, serta beberapa organisasi dan perkumpulan juga mengambil model ini.
Kedua, membeli pada agen yang akan menyembelih pada hari meugang, mereka ini beberapa minggu sebelum meugang melakukan penjajakan ke rumah-rumah untuk menawarkan daging yang nanti akan disembelih pada hari meugang. Setelah dapat berapa orang yang mengambil daging, maka ditentukanlah berapa lembu yang akan disembelih.
Ketiga, membeli di pasar, karena dua hari sebelum Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, pedagang daging akan membanjiri pasar-pasar. Harga daging di pasar pada saat meugang naik dari biasanya hingga mencapai 50% dari harga hari biasa, biarpun demikian masyarakat tetap membelinya demi untuk meugang di hari tersebut.
Keempat, sebagian masyarakat tidak memilih daging lembu atau kerbau untuk meugang, akan tetapi mereka hanya menyembelih ayam atau bebek yang dipelihara sendiri. Terkadang ada juga yang membelinya dari tetangga yang memelihara ayam atau bebek. Mereka ini kebanyakan termasuk masyarakat kurang mampu, akan tetapi mereka tetap merayakan meugang, walaupun tidak makan daging merah.
Adanya latar belakang menyambut bulan puasa, Idul Fitri dan Idul Adha dalam perayaan meugang merupakan bentuk dari eratnya kaitan antara meugang dan ajaran agama Islam. Hendaklah seorang muslim senang dengan masuknya bulan Ramadhan, karena pada bulan tersebut Allah melipat gandakan semua amalan, bulan yang lebih baik dari seribu bulan. Bersedekah yang melatarbelakangi meugang juga menjadi fakta penting dibalik tradisi meugang, karena ajaran Islam sangat menganjurkan untuk bersedekah dan berbuat baik kepada orang lain. []