Nukilan.id | Banda Aceh -Konsorsium PERMAMPU merayakan Hari Perempuan Sedunia (IWD) 8 Maret sekaligus rangkaian diskusi kritis menuju Musyawarah Nasional Perempuan II 2024. Kegiatan ini diselenggarakan 2 hari (8/3/2024) pukul 09.30-12.30 di tingkat PERMAMPU/Sumatera secara hybrid (online dan offline) dan dilanjutkan diskusi kritis secara offline 8 Maret 2024 pukul 13.30-17.00 sampai 9 Maret 2024 pukul 09.00-17.00 untuk tingkat desa dan kabupaten di 8 Provinsi dampingan PERMAMPU. Diskusi ini diikuti perwakilan dari 126 desa & kelurahan di 43 Kabupaten yang tersebar di 8 provinsi dampingan PERMAMPU, yakni Flower Aceh-Aceh, PESADA-Sumatera Utara, PPSW Riau-Riau, LP2M Sumatera Barat, APM-Jambi, CP WCC Bengkulu, WCC Palembang-Sumatera Selatan dan Perkumpulan DAMAR-Lampung.
Kegiatan ini melibatkan 439 peserta yang terdiri dari perwakilan perempuan akar rumput dampingan anggota PERMAMPU sebanyak 64 perempuan muda, 349 perempuan dewasa (5 diantaranya dengan disabilitas), 1 laki-laki serta menghadirkan 6 laki-laki dan 6 perempuan dari perwakilan pemerintah desa, 1 laki-laki dan 6 perempuan dari perwakilan Dinas PPPA Kabupaten dan 6 perempuan dari jaringan NGO lokal. Kegiatan ini mengusung tema, “Amplifikasi Suara Perempuan Perdesaan & Perempuan Akar Rumput untuk Pengakhiran Pemiskinan Perempuan khususnya Pencegahan Perkawinan Anak Perempuan dan Usia Dini <19 tahun”
Di tingkat Sumatera, PERMAMPU merayakan dengan menunjukan data-data di lapang dan hasil penelitian mengenai identifikasi perubahan tren perkawinan usia ≤19 tahun paska UU Nomor 16/2019 dan di masa Covid-19 di pedesaan, miskin kota dan daerah 3T di Pulau Sumatera. Penelitian ini melibatkan 1.147 narasumber (161 laki-laki dan 986 perempuan), usia ≤19 tahun; 312 orang, usia >19-44; 471 orang dan usia 45-49; 245 orang. Hasil penelitian ini adalah dasar desain program PERMAMPU yang berbasis data lapang.
Adapun Dina Lumbantobing sebagai Koordinator PERMAMPU menyebutkan, penelitian bukan hanya sekedar mengumpulkan dan menganalisis angka, tapi melibatkan perempuan secara bermakna melalui cerita hidup 32 perempuan serupa studi kasus yang selama ini luput dari pertimbangan pengambilan keputusan sehingga para perempuan korban perkawinan ≤ 19 tahun terpuruk dan mengalami pemiskinan. Selama ini ketika menyebut perkawinan usia anak, akil balig yang menjadi acuan UU Nomor 16 tahun 2019 perubahan atas UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, artinya tidak boleh menikahkan perempuan dan laki-laki di usia 15, 16, 18 bahkan usia 19.
“PERMAMPU sendiri pada dasarnya meyakini bahwa usia menikah seyogyanya di atas 21 tahun, kami setuju dengan BKKBN mengenai usia hal ini” ucap Dina dalam diskusi tersebut yang juga ikut dihadiri oleh tim Nukilan.id
Beberapa temuan penelitian yang didokumentasikan dari cerita-cerita perempuan oleh PERMAMPU di 26 Desa, 26 Kabupaten, di 8 Provinsi diantaranya pertama, angka pemohon dispensasi kawin tinggi. Kedua, pasangan yang tidak mengajukan permohonan dispensasi kawin juga tinggi dan tidak terdaftar karena mereka kawin siri, kawin adat dan kawin secara kekeluargaan; bahkan hidup bersama atas persetujuan keluarga. Ketiga, usia menikah dari 11-18 tahun. Keempat, kehamilan tidak diinginkan (KTD) adalah penyebab tertinggi permohonan dispensasi kawin. Kelima, perempuan yang mengalami perkawinan ≤19 tahun rentan mengalami KDRT, perceraian, miskin dan menjadi beban orang tua. Keenam, akses ke kontrasepsi rendah. Ketujuh, anak kurang gizi dan stunting.
Untuk itu PERMAMPU telah merancang desain program hingga 2025 dengan 3 tema besar yaitu akses ke layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi/KSR melalui pengembangan OSS&L (Pusat Pelayanan dan Pembelajaran KSR) yang berbasis di puskesmas yang peka GEDSI (Kesetaraan Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial). Kemudian, kemandirian ekonomi perempuan (muda dan dewasa) dan kepemimpinan perempuan. Juga perubahan kebijakan di pemerintah dan norma (keluarga).
Isu perkawinan ≤ 19 tahun di atas merupakan salah satu isu yang akan dibawa ke MUNAS Perempuan. Isu lainnya akan didiskusikan di tingkat desa dan kabupaten yang dilakukan secara paralel, partisipatoris, kritis, dan berkelanjutan untuk menggali fakta-fakta di lapangan.
Isu-isu lain yang dihadapi, yakni menganalisisnya secara bertingkat mulai dari desa dampingan, kabupaten hingga tingkat PERMAMPU. Dalam diskusi dan musyawarah tersebut, PERMAMPU akan mengidentifikasi 5 agenda yang berkaitan erat dengan visi, misi dan kerja-kerja PERMAMPU dari 9 rumusan agenda yang telah diakomodir dalam RPJPN. Kelima agenda adalah poin (3) pencegahan kawin anak (yang dipertajam oleh PERMAMPU menjadi usia ≤19 tahun sesuai UU Nomor 16 tahun 2019), (4) ekonomi perempuan, (5) kepemimpinan perempuan (dalam hubungannya dengan pemilu dan demokrasi yang memburuk akhir-akhir ini), (6) kesehatan perempuan terutama HKSR dan (8) kekerasan terhadap perempuan dan anak (khususnya anak perempuan).
Hasil diskusi kritis, analisis, dan rekomendasi dari kelima agenda ini akan dibawa oleh perwakilan Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput (FKPAR) dan PERMAMPU ke MUNAS Perempuan Nasional online dan offline yang rencananya akan diselenggarakan di 21 April 2024 di Badung, Bali. Perempuan, disabilitas, dan kelompok marginal harus terus membangun kekuatan untuk menyuarakan agenda-agendanya dalam momentum penyusunan dokumen perencanaan pembangunan (RPJMN 2025-2029) untuk mengawal perspektif GEDSI melalui forum Musyawarah Nasional. Forum yang diinisiasi untuk aksi kolektif mengawal advokasi dokumen perencanaan pembangunan nasional dan daerah yang akan diselenggarakan pada bulan April 2024 tersebut. Kegiatan ini didukung program INKLUSI yang merupakan kemitraan Australia-Indonesia menuju masyarakat Inklusif bersama 11 mitranya, salah satunya adalah Konsorsium PERMAMPU di Pulau Sumatera.
Kemudian pada sesi akhir diskusi tersebut, PERMAMPU meyakini pentingnya mengamplifikasi suara perempuan akar rumput, melakukan upaya-upaya yang pertisipatif dan bermakna agar suara didengarkan dan mempengaruhi keputusan mulai dari perdesaan hingga nasional. [Auliana Rizky]