*Rustam Effendi, S.E., M.Econ
ACEH menjadi daerah miskin berdasarkan data Badan Pusat Statistik Aceh merilis data statistik Aceh, dengan menyebutkan Aceh kembali menjadi provinsi termiskin di Sumatera. Jika dilihat dari penduduk miskin menurut provinsi di Pulau Sumatera, Aceh kembali menduduki peringkat satu. Angka kemiskinan di Aceh 15,43 persen, kemudian diikuti Bengkulu 15,30 persen dan Sumatera Selatan 12,98 persen.
Dalam rilis yang diterbitkan, Kepala BPS Aceh Ihsanurrijal menjelaskan, jumlah penduduk miskin Aceh pada September 2020 sebanyak 833.910 orang atau 15,43 persen. Jumlah itu bertambah 19.000 orang dibandingkan Maret 2020, yakni 814.910 orang.
Melihat fakta kemiskinan itu Aceh yang terjadi sejak paska konflik dan bencana tsunami. Pemerintah pusat memberikan dana otsus yang masukan dalam UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Pasal mengatur tentang dana otsus Aceh pada pasal 183.
Besaran Dana Otsus untuk tahun pertama sampai kelima belas adalah 2% dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional. Kemudian pada tahun kelima belas hingga kedua puluh adalah 1% dari plafon DAU nasional.
Dana Otsus digunakan untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan.
Dana otonomi khusus (Otsus) Aceh yang sudah digelontorkan oleh pemerintah sejak 2008-2020 (±) Rp 88,86 triliun juga menurut Maliki belum dimanfaatkan secara baik.
Untuk mencermati dan menilai penggunaan dana otsus di Aceh, Dialeksis.com (05/04/2021) menghubungi Pengamat Ekonomi Rustam Effendi untuk wawancara eksklusif. Dirinya tercatat mengajar sebagai Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala.
Secara objektif Rustam akan memberikan masukan konstruktif dan solutif agar dana otsus dapat memberikan manfaat signifikan menurunkan angka kemiskinan sekaligus menaikan tingkat kelayakan hidup (kesejahteraan) masyarakat Aceh. Apalagi Aceh akan dihadapi penurunan penerimaan dana otsus dari 2% menjadi 1% saat berakhir pada tahun 2022. Guna mengatasi dan memberikan jalan keluar.
Berikut petikan wawancaranya:
Pengoptimalan dana Otsus harus memberikan dampak nyata kepada perubahan kesejahteraan masyarakat Aceh, termasuk menurunkan angka kemiskinan di Aceh. Menurut anda apa yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki keadaan?
Pertama adalah lihat dulu komposisi dana Otsus dalam APBD ini. Bagaimana komposisinya. Kita punya PAD PAA sekitar 2,2 atau 2,4 T. Sekarang ini tambah lain-lain itu paling kita ada uang sekitar 4 T. Iya plus plus lah kalau pun mungkin ada Dana Alokasi Khusus (DAK), tapi itu setengah yang terakhir saya hitung, lebih lima puluhan persen (52%) atau (53%) .
Maksudnya bagaimana ?
Maksudnya APBD ditopang oleh Otsus lebih dari 50 persen. Artinya kalau kita dapat 2% dikali DAU iya. Dengan asumsi DAU itu tetap konstan dibuatnya, tidak ada penambahan signifikan DAU. Itu yang saya lihat. Jadi kalau DAU sebagai basis pengalihnya 2% dikali dengan DAU nasional dan DAU tidak mengalami kenaikan lagi mungkin digeser ke pos yang lain.
Riilnya yang terjadi ?
Tidak banyak kenaikan tambahan, kenaikanya ada di angka 8 itu kita sudah mentok, delapan koma sekian trililun. Coba kalau kita lihat ke dalam rekening kan tetap angka 8,1 kan. Nah itu tidak mungkin bisa naik lagi, apalagi hanya sisa waktu tinggal setahun lagi, 22 itu adalah angka 2% tadi yang terakhir tahun depan. Arti kata kita dapat 8 T lagi lah, tidak mungkin tambah 10-lah itu. Jadi berarti komposisi kita memang angka APBA kita memang mentok pada angka 15, 19, 17 triliun. Kan berarti setengahnya lebih 50%-an 52 atau 54% kalau saya gak salah itu ditopang oleh Otsus. 2023 sampai 2027 kita dapat 1%.
Apakah itu berpengaruh secara tata kelola keuangan di Aceh?
Iya sangat berpengaruh. Jadi persis 1%, yang dulu katakanlah asumsi dapat 8,1 tinggal 4 kan. 4 tambah PAD kita 2,4 katakanlah berarti sudah 6,4 tambah dana DAK sedikit bla..bla.. bla.. paling ada APBD kita hanya ada 10 T. Itu dengan asumsi tidak ada penopang sumber lain. PAD kita tidak mungkin naik lagi itu.
Dampaknya ada ?
Sudah pasti ada dampak (impact) pertama kemampuan belanja kita terbatas. Pembangunan kan ada belanja itu, kegiatan pembangunan atau proyek itu dibiayai dengan belanja itu, kalau kita umpamakan sebagai suami pendapatannya kan besar kita bisa belanja lebih banyak. Mungkin mau kita tambah makanan, bisa tambah dapur nah itu analoginya begitu lah.
Artinya bisa dilakukan jika anggaran besar untuk dana belanja kesehatan, pendidian dan lain-lain. Nah ketika pendapatan kita terbatas hilang setengah otsus disisi lain belum ada tambahan pendapatan lain yang bisa menopang itu. Tentu dampaknya nyatanya dirasakan pada sektor pembangunan maupun ekonomi masyarakat Aceh. Jadi lapangan usaha ekonomi seperti pertanian, perikanan , kelautan disana juga ada perdagangan ada lapangan-lapangan usaha ekonomi lain. Tentu kita tidak bisa belanja lebih banyak lagi. Ujung-ujungnya aktivitas produksi yang dihasilkan oleh lapangan usaha ekonomi yang ada menjadi terbatas.
Misalkan sebagai contoh ?
Mungkin contohnya belanja pupuk pada petani, belanja input, belanja mungkin untuk kita ingin tingkatkan pelaku usaha ekonomi apa itu mikro kecil, untuk membangun jalan, membuat bendungan menjadi terbatas. Tentu sudah pasti tata kelola keuangan kita menjadi lebih penuh kejadian lagi dalam mengalokasikan belanja yang terbatas itu. Sedangkan kebutuhan itu tidak akan pernah cukup pak kebutuhan itu sudah pasti ada dan setiap tahun pasti meningkat sesuai dengan kompleksitas masalah. Disisi lain pendapatan sudah bukan hanya konstan, setengah hilang itu.
Lantas apa Tindakan nyata perlu dilakukan pemerintah dan para stakeholder ?
Saya pikir tidak ada cara lain ketika PAD tidak mungkin kita naikkan signifikan lagi. Karena kenaikan PAD sangat dibutuhkan oleh aktivitas ekonomi. Kalau aktivitas ekonomi kita banyak, hotel itu bagus, ekonomi juga ada kilang ada pabrik tentu bisa tambah pemasukan PAD Aceh. Oleh sebab itu solusinya tidak ada lain kita harus di support oleh sektor swasta. Swasta harus masuk ke dalam satu skala besar itu, harus ada usaha industri lain yang bisa masuk swasta sehingga itu bisa mensupport PAD. Misalnya bisa menciptakan lapangan pekerjaan, bisa menghasilkan pendapatan kepada kita lewat hak-hak pajak kita misalnyakan. Tapi kalau itu tidak ada dan bisa kita selesaikan dalam lima atau delapan tahun kedepan dia akan bermasalah kepada belanja kita. Ujung-ujungnya tujuan usaha kita untuk mengentaskan kemiskinan menjadi semakin sulit kepada kedepanya.
Penting tidak kalau umpamanya dilakukan efektivitas dan efisiensi dari sisi pengelolaan anggaran, khususnya pemanfaatan dana otsus, artinya kan perlu dievaluasi mana-mana yang tidak tepat peruntukan, tepat manfaat atau tepat guna?
Bisa saja dilakukan. Tetapi ada hal-hal yang tidak bisa kita potong honor untuk tenaga kontrak kan gak mungkin kita potong itu, belanja pegawai kan tidak mungkin itu dipotong juga. Tapi yang bisa di efesiensikan, misalkan tunjangan ketika menjabat mungkin itu dipangkas nantinya kalau tidak ada uang lagi. Biasanya dapat misalnya maaf lah ini Kadis dapatnya 25 atau 20 sebulan iya potong setengahnya, SPPD terpaksa dilakukan efisiensi, dan lain-lain. Ujung-ujungnya anggaran otsus dapat nilai manfaat yang nyata. Dimana hasil pemotongan bisa untuk kebutuhan kemandirian ekonomi dan pembangunan.
Apakah dalam penggunaan dana otsus dibutuhkan blue printh atau road map?
Itu sangat penting sekali. Seharusnya dari awal itu dilakukan dan dibuat blue print penggunaan otsus Aceh yang ditujukan untuk sector Kesehatan, Pendidikan, dan pembangunan yang jelas output dan outcomenya maupun benar-benar dilibatkan partisipasi publik untuk mengawasi penggunaan dana otsus sehingga akutabilitasnya terjadi oleh publik.
Orientasi penggunaan dana otsus dalam blue print atau road map pada daerah di Aceh yang masih masuk katagori miskin, misalkan Gayo Lues, Aceh Utara, Lhokseumawe, dll.
Apa penting dana Otsus diperpanjang untuk Aceh ?
Kalau bicara penting pasti penting dan sangat dibutuhkan masyarakat Aceh. Hal prioritas gubernur Aceh harus berkomunikasi dan berkoordinasi selalu kepada pemerintah pusat guna menyakinkan keberlanjutan dana otsus untuk Aceh. Tentunya dengan format dan perlakuan yang berbeda, misalkan ada kehadiran pusat untuk supervisi realisasi penggunaan dana otsus maupun kejelasan konsep penggunaan dana otsus. Mulai dari terkait akuntabilitas dan transparansi maupun dari sisi perencanaan, dari sisi pengawasan, dari sisi realisasi harus betul-betul sesuai.
Masalah utamanya ke depan apa ?
Cuma yang jadi masalahnya di perpanjangan tidak bisa berlaku sama. Artinya harus selesai realisasi dana otsus Aceh sampai 2027. Sudah dinyatakan dalam UU 2% dari DAU Nasional 2008-2022 selebihnya 2023 – 2027 1 %. Disini tidak bisa diperpanjang tetap 2 %. Aceh tetap dapat 1 % pada tahun 2023 nantinya.
Bisa saja kalua kuat komunikasi dan lobi yang dibangun pemerintah Aceh, maka tidak menutup peluang bisa naik pagu dari dana otsus awalnya 2% bisa 3%. Itu sangat tergantung kemampuan pemerintah Aceh menyakinkan pemerintah pusat untuk memastikan ketersediaan dana otsus bagi Aceh paska selesai di tahun 2027 nantinya.
Berapa tahun dibutuhkan untuk melanjutkan pemberian dana otsus bagi Aceh paska 2027 ?
Nanti akan ada hitung-hitung oleh ahlinya untuk kebutuhan daerah yang diterpa konflik berkepanjangan dan bencana tsunami berapa lama bisa membuat perubahan. Dari situ bisa dilihat kebutuhan dana otsus untuk membuat akselerasi memicu perubahan di sektor ekonomi dan pembangunan.
Pertanyaan terakhir, bagaimana perlu dilakukan agar publik berpartisipasi untuk mengawasi dan memberikan kritikan terhadap penggunaan dana otsus di Aceh ?
Saya pikir tidak ada jalan lain, kita sama-sama bersatu padu serius mengawasi penggunaan dan otsus, serta kompak menjemput investor masuk ke Aceh. Kalau kita selalu tergantung pada dana pemerintah ini persoalan kita kedepan Aceh tidak bisa mandiri secara perekonomian.[]