Nukilan.id – Pengungsi Rohingya masuk ke Aceh pertama kali pada awal tahun 2009. Pada waktu itu, banyak perahu pengungsi Rohingya yang terdampar di perairan Aceh. Nelayan dan warga setempat secara spontan memberikan pertolongan, memberikan makanan, air, dan bantuan kemanusiaan lainnya kepada pengungsi yang tiba.
Pertolongan dari nelayan Aceh terhadap pengungsi Rohingya mencerminkan sikap kepedulian dan solidaritas masyarakat lokal terhadap mereka yang mengalami krisis kemanusiaan.
Meskipun tidak ada kewajiban hukum untuk memberikan bantuan, warga Aceh menunjukkan semangat kemanusiaan dengan membantu pengungsi yang tengah menghadapi kondisi sulit dan risiko kehidupan yang tinggi.
Penting untuk dicatat bahwa sejak saat itu, peristiwa serupa terjadi kembali di beberapa kesempatan, dan respons positif dari masyarakat Aceh terhadap pengungsi Rohingya terus berlanjut.
Namun, ketika di akhir tahun 2023 dan hadirnya lebih dari 100 pengungsi Rohingya dan terkesan lambatnya respon pemerintah, ditambah dengan terbatasnya informasi tentang fakta-fakta atas situasi kekerasan yang dialami etnis Rohingya di negara asalnya.
Hal ini berpotensi semakin banyaknya berita hoaks dan narasi kebencian terhadap etnis Rohingya. Kejadian yang sangat memprihatinkan terkait pengungsi Rohingya di Aceh ketika sejumlah mahasiwa yang menamakan dirinya Mahasiswa Nusantara melakukan pengusiran 137 orang pengungsi Rohingya yang didominasi perempuan dan anak-anak di Balai Meusara Aceh (BMA) pada Rabu 27 Desember 2023 lalu.
Meski Indonesia belum menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, namun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) serta lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan pengungsi dari Luar Negeri.
Pada Pasal 1 ayat 1 menyebutkan “Pengungsi dari luar negeri yang selanjutnya disebut pengungsi adalah orang asing yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) disebabkan ketakutan yang beralasan akan persekusi dengan alasan ras, suku, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu,dan pendapat politik yang berbeda serta tidak menginginkan perlindungan dari negara asalnya dan/atau telah mendapatkan status pencari suaka atau status pengungsi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi di Indonesia”.
Menanggapi hal tersebut, Gerakan Perempuan diantaranya Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA) Khairani Arifin, Direktur Flower Aceh Riswati, Presiden Serikat Inong Aceh (SeIA) Agustina, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas perempuan Aceh Rahmil Izzati, Koordinator Yayasan Pulih Aceh Dian Marina, Direktur Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) Irma Sari, Direktur LBH Apik Aceh Roslina Rasyid, Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) Laela Jauhari, Wakil Komisi Kesetaraan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Eka Murni, Sekolah HAM Perempuan Flower Aceh Gabriena Rezeky, dan Sumiati Khairiyah, MiSPI menyesali aksi demo yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa dan menegaskan beberapa hal.
Jika merujuk pada peraturan di atas, maka para pendatang dari Rohingya yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa, anak laki-laki, dan anak perempuan serta perempuan dalam kondisi hamil masuk dalam katagori sebagai pengungsi. Organisasi-organisasi yang menyetujui dan menandatangani pernyataan yang memandang bahwa penemuan, kedatangan, penampungan, pengamanan, dan pengawasan keimigrasian pengungsi tersebut harus dilakukan secara tepat, yakni sesuai dengan aturan yang berlaku dan dengan memperhatikan pemenuhan hak-hak mereka sebagai manusia, terutama kebutuhan khusus perempuan dan anak.
“Sehubungan dengan itu, kami sebagai organisasi-organisasi yang berkomitmen untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak sangat prihatin dengan situasi ini,” ucap Direktur Flower Aceh, Riswati saat dihubungi Nukilan.id, Minggu (31/12/2023).
Ia mengatakan, Gerakan Perempuan telah menegaskan beberapa hal. Pertama, semua pengungsi khususnya anak-anak dan perempuan yang diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (kasus sedang proses penyelidikannya) perlu diperhatikan, dilindungi, dan dipenuhi hak-hak mereka, terutama layanan hak dasar. Kedua, Gerakan Perempuan menekankan pentingnya akses perempuan dan anak-anak terhadap layanan kesehatan yang memadai. Ini melibatkan penyediaan fasilitas kesehatan yang ramah perempuan dan anak serta pelayanan yang mencakup pemantauan kesehatan mental.
Ketiga, mendorong pemerintah untuk bisa memberikan penampungan sementara yang layak untuk korban dengan standard terpenuhinya HAM. Keempat, mendorong pemerintah Aceh untuk melakukan penanganan dan penyelesaian secara baik serta bermartabat dengan berdasarkan semua aturan yang berlaku, pemenuhan HAM, termasuk pemahaman serta implementasi syariat Islam yang Rahmatan lil ‘alamin. Kelima, mendorong pemerintah Aceh untuk mendesak pemerintah pusat memberi perhatian yang serius terkait kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh sehingga penyelesaiannya dapat melibatkan PBB atau lembaga lain yang terkait sesuai yang diatur oleh PERPRES dan atau aturan lainnya baik nasional maupun internasional.
Keenam, pentingnya pelibatan masyarakat sipil secara konstruktif dengan aturan/syarat tertentu yang disepakati bersama dan mekanisme koordinasi yang baik dalam melakukan pendampingan, penguatan terhadap pengungsi. Keenam, menyesali aksi demonstrasi yang dilakukan secara tidak bermartabat oleh sebagian mahasiswa yang mengatasnamakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) beberapa universitas swasta di Aceh pada Rabu tanggal 27 Desember 2023.
Ketujuh, pentingnya pihak universitas-universitas yang terlibat dalam demonstrasi tersebut untuk berkoordinasi dengan BEM masing-masing untuk dapat menjelaskan secara bertanggung jawab tentang aksi tersebut karena aksi demonstrasi tersebut telah menimbulkan keresahan lain di tengah semberautnya upaya penanganan pengungsi. Kedelapan, mendorong ulama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat untuk menyampaikan pernyataan dan informasi yang menyejukkan bagi masyarakat dalam menghadapi persoalan Rohingya serta mendorong masyarakat melakulan pemantauan untuk penyelesaian masalah ini. Kesembilan, mendorong UNHCR dan IOM untuk untuk memastikan hak-hak pengungsi terpenuhi, terutama hak atas keamanannya dan terakhir mendukung upaya diplomasi dan kerjasama internasional dalam menangani akar masalah isu Rohingya.
“Solusi jangka panjang harus melibatkan komitmen global untuk menyelesaikan konflik, mengatasi penyebab utama pengungsian, dan memastikan keberlanjutan perdamaian,” tutup Riswati [Auliana Rizky]





