Nukilan.id – Di tengah transisi menuju energi terbarukan, Uni Eropa terus mendiskriminasi sawit.
Dengan dalih mencapai nol emisi karbon pada 2030, sawit sering didiskreditkan sebagai minyak nabati yang tidak ramah lingkungan. Padahal sawit merupakan minyak nabati paling sustainable dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dunia di masa yang akan datang.
Kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II yang merupakan bagian dari green deal policy, melalui skema Indirect Land Use Change (ILUC) mengecualikan sawit karena dianggap beresiko tinggi menyebabkan deforestasi.
Baca juga: Harga TBS Sawit Rp1.920 per Kilogram di Subulussalam
Padahal penelitian Union of Concervation of Nature (IUCN) menyatakan sawit sembilan kali lebih efisien dalam penggunaan lahan.
Cut of date yang ditetapkan dalam ILUC yakni tahun 2008 dinilai tidak fair Negara-negara di benua biru tersebut telah terlebih dahulu melakukan deforestasi masif di era revolusi Industri.
Penelitian Roser (2012) bahkan menyebutkan deforestasi yang dilakukan di Eropa kemudian Amerika Utara menyebabkan penurunan luas hutan dunia secara signifikan termasuk biodiversity loss didalamnya.
Menanggapi hal tersebut, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia mengajukan gugatan atas Uni Eropa yang dianggap mendiskreditkan komoditas sawit ke World Trade Organization (WTO).
Baca juga: GAPKI Pastikan Industri Sawit Patuhi Aturan Ketenagakerjaan
“Seluruh minyak nabati di dunia harus memiliki standar pendekatan yang sama dan diakui PBB yakni dengan berbasis Sustainable Development Goals (SDGs), bukan satu atau dua indikator yang dikarang-karang, tidak diakui dunia dan tidak akademis,” tegas Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar dalam Webinar Inapalmoil beberapa waktu lalu.
Sementara Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket, mengungkapkan Komisi Uni Eropa sedang meninjau ulang kebijakan RED II dan hasilnya akan dipublikasikan pada bulan Juni tahun ini.
Dengan melakukan penelitian ilmiah yang ektensif khususnya untuk komoditas minyak sawit sebagai bagian dari Green Deal.
Vincent meyakinkan bahwa dampak terdapak industri minyak sawit ataupun minyak nabati lainnya akan didasarkan pada penilaian yang adil berbasis ilmiah.
RED II merupakan hasil amandemen dari kebijakan sebelumnya memiliki kriteria keberlanjutan yang salah satunya mengatur perhitungan emisi gas rumah kaca pada perubahan penggunaan lahan secara langsung.
“Tidak akan ada pelarangan impor minyak sawit atau biofuel.”
“Tidak sekarang, tidak pada 2023 bahkan di 2030,” ujar Vincent.
Perundingan terus berlangsung, baik antar negara maupun tingkat kawasan.
Indonesia maupun Uni Eropa mendorong kerja sama yang dilakukan secara bilateral maupun multilateral.
Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Fadhil Hasan menjelaskan daya saing yang tinggi yang dimiliki oleh komoditas sawit tidak mengkhawatirkan posisinya di pasar global.
Fadhil Hasan mengaku pelaku usaha juga mampu beradaptasi melalui berbagai sertifikasi, mulai dari sertifikasi yang dimiliki oleh pasar seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun negara yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Selain itu, Indonesia juga memiliki leverage tinggi serta pasar terbesar di ASEAN.”
“Menguasai Setengah dari populasi di wilayah ASEAN, menjadikan Indonesia sebagai regional leader sehingga berpengaruh berpengaruh bagi perekonomian dunia.”
“Hal ini menjadi bargaining power dalam perundingan bilateral maupun multilateral,” ujar Fadhil Hasan.
Fadhil Hasan menyoroti pendekatan diplomasi trade and sustainable development (TSD) yang digunakan dalam perundingan.
Menurutnya, penting untuk meninjau kembali perjanjian perdagangan sehingga mampu untuk mengakomodir seluruh kepentingan kedua bela pihak, terutama pada perjanjian Comperhensive Economic Partnership Agreement (CEPA) untuk menghindari regulasi lain diluar dari yang telah diatur dalam CEPA karena akan menjadi hambatan dagang lainnya.
Hal ini diamini oleh, Hikmahanto Juwana, Pengamat Hukum Internasional Universitas Indonesia bahwasanya pasar di Indonesia merupakan kekuatan di ASEAN.
Namun menurut Hikmahanto, kerja sama bilateral patut untuk didorong lebih jauh dikarenakan kepentingan masing-masing negara di ASEAN yang akhirnya mengecilkan kekuatan dan kepentingan negara. [Tropis.co]