BANDA ACEH – Provinsi di ujung barat Indonesia ini tengah berjuang keluar dari jerat kemiskinan dan keterpurukan ekonomi. Berbagai label negatif pun disematkan pada Aceh. Padahal Aceh kaya akan sumber daya alam yang seharusnya mampu menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya.
Di tengah situasi suram itu, ada harapan baru yang muncul. Lewat seminar Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) bertajuk “Komunikasi Buruk Ekonomi Terpuruk” di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, pada Rabu, 27 September 2023, para pakar sepakat bahwa kualitas komunikasi menjadi kunci bagi Aceh untuk bangkit dari keterpurukan.
Komunikasi yang buruk, terutama antar para pemangku kepentingan di Aceh, dinilai menjadi akar permasalahan dari stagnanya pembangunan selama ini. Oleh karena itu, transformasi pola komunikasi menjadi prasyarat bagi lahirnya Aceh baru yang lebih sejahtera.
Dosen Ilmu Komunikasi UIN Ar-Raniry Dr. A. Rani Usman menjelaskan selama ini komunikasi publik di Aceh didominasi model komunikasi satu arah. Pemerintah dan elit politik menguasai wacana publik tanpa memberi ruang bagi aspirasi rakyat banyak.
Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang diambil seringkali tak sejalan dengan kebutuhan rakyat. Seperti contoh pengelolaan migas secara sepihak oleh Pemerintah Aceh yang justru merugikan pendapatan daerah.
“Kita perlu membangun pola komunikasi dialogis dan kolaboratif yang melibatkan seluruh komponen masyarakat Aceh,” tegas Rani.
Senada, Rektor UIN Ar-Raniry Prof Dr Mujiburahman menekankan urgensi sinergi dan kemitraan strategis antara pemerintah, akademisi, dan pengusaha lewat komunikasi yang terbuka dan setara. Hanya dengan cara itu kebijakan-kebijakan yang diambil benar-benar aspiratif dan selaras dengan kebutuhan rakyat banyak.
Mantan aktivis GAM Sofyan Dawood pun menegaskan bahwa kualitas komunikasi politik sangat menentukan kemajuan Aceh ke depannya. Ia berharap generasi milenial Aceh bisa menjadi agen perubahan dengan membangun cara berkomunikasi publik yang lebih santun dan kolaboratif.
Selain itu, transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran daerah juga penting untuk dibenahi. Menurut akuntan publik Nasri, minimnya informasi soal penggunaan anggaran berisiko melahirkan korupsi dan penyelewengan dana. Masyarakat Aceh berhak mengetahui alokasi dana mereka.
Dengan memperbaiki pola komunikasi lintas sektor dan elemen masyarakat, harapan lahirnya Aceh yang lebih makmur dan berdaya tampak semakin terbuka lebar. Semua komponen Aceh perlu bahu membahu dan bersinergi mewujudkan visi ini.
Komunikasi yang buruk telah menjerat Aceh dalam belenggu keterpurukan ekonomis. Kini saatnya meretas jalan baru menuju masa depan yang lebih cerah dengan membangun komunikasi yang lebih kolaboratif dan aspiratif. Inilah prasyarat bagi lahirnya Aceh baru yang sejahtera.
Transformasi pola komunikasi publik di Aceh bukanlah misi yang mudah. Dibutuhkan komitmen bersama dan kerja keras dari berbagai pihak untuk mewujudkannya. Namun demi masa depan Aceh yang lebih baik, upaya ini patut digalakkan.
Menurut Rektor UIN Ar-Raniry, perguruan tinggi sebagai agen perubahan perlu mengambil peran aktif mentransformasi pola komunikasi di Aceh yang cenderung tertutup dan satu arah selama ini.
“Kami siap bekerja sama dengan pemerintah dan elemen masyarakat sipil untuk melahirkan wacana-wacana baru yang lebih konstruktif bagi kemajuan Aceh,” ujarnya.
Sementara itu, praktisi media di Aceh perlu meningkatkan kualitas jurnalisme yang mendidik dan memberdayakan masyarakat. Media tak boleh menjadi corong kepentingan penguasa, tapi harus menjadi suara dari mereka yang tak berdaya.
Aktivis LSM dan Organisasi Masyarakat juga dituntut untuk terus menjadi pengawal demokrasi dan transparansi pemerintahan di Aceh. Mereka harus menjaga komunikasi yang setara antara negara dan warganya.
Adapun Pemerintah Aceh dan legislature juga harus membuka diri terhadap masukan konstruktif dari berbagai elemen masyarakat. Hanya dengan dialog yang terbuka dan saling menghargai, kebijakan-kebijakan yang diambil dapat menjawab kebutuhan riil rakyat banyak.
Proses transformasi tentu takkan mudah dan membutuhkan waktu. Namun jika semua pihak bersinergi, harapan Aceh yang makmur dapat segera terwujud. Seminar ini menjadi momentum penting untuk memulai perubahan, dimulai dari cara kita berkomunikasi.