Nukilan.id – Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi melakukan pertemuan bilateral dengan Menlu Jepang Toshimitsu Motegi di Tokyo pada Selasa (30/3/2021). Selain hubungan bilateral, mereka turut membahas isu kawasan dan dunia.
Salah satu isu yang dibahas Retno dan Motegi adalah tentang gejolak di Myanmar. Retno menyebut Indonesia dan Jepang memiliki keprihatinan yang sama dalam melihat perkembangan situasi di Myanmar.
“Indonesia menolak keras kekerasan oleh aparat keamanan yang menyebabkan jatuhnya lebih dari 100 korban meninggal pada tanggal 27 Maret 2021. Ini tidak dapat diterima dan harus dihentikan,” kata Retno dalam konferensi pers virtual.
Baca juga: Tolak Kudeta, 50 Pengunjuk Rasa Tewas Ditembak Polisi Myanmar
Retno menekankan pentingnya dialog untuk menyelesaikan krisis Myanmar. “Hanya melalui dialog Myanmar dapat menyelesaikan masalah mereka,” ujarnya.
Pada Senin, setidaknya 107 demonstran dilaporkan terbunuh dalam aksi menentang kudeta militer. Hari paling berdarah dalam gelombang demonstrasi menolak kudeta adalah pada Sabtu (27/3/2021) pekan lalu. Pasukan keamanan membunuh 114 pengunjuk rasa.
Retno dan Motegi turut membahas tentang Indo-Pasifik. Retno menekankan, Indo-Pasifik harus menjadi kawasan damai dan sejahtera. Hal itu dapat terwujud jika para pihak di kawasan mengedepankan kerja sama dan mematuhi hukum internasional. “Rivalitas dan konfrontasi tidak akan menguntungkan siapa pun,” kata Retno.
Baca juga: PBB Minta Dunia Respons Situasi Myanmar
Militer melakukan kudeta 1 Februari dan menahan Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint. Militer berusaha membenarkan kudeta dengan mengklaim pemilu yang dimenangkan partai Suu Kyi, National League for Democracy (NLD) diwarnai kecurangan.
Di Myanmar, aksi menyalakan lilin dilakukan oleh para pengunjuk rasa pro-demokrasi pada Senin (29/3/2021) malam. Aksi ini dilakukan setelah data lembaga aktivis Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) menyebutkan jumlah orang tewas di tangan militer mencapai 512 orang. Sebanyak 141 orang dari jumlah itu tewas pada Sabtu (27/3/2021) sehingga menjadikan hari itu menjadi paling berdarah sejak kudeta militer 1 Februari.
Pasukan keamanan Myanmar menggunakan kekuatan maksimal untuk membubarkan demonstran di seluruh penjuru negeri. Seorang saksi mata mengatakan, pada Senin pasukan keamanan di distrik Dagon Selatan, Yangon menembakkan senjata kaliber yang jauh lebih berat dari biasanya. Namun tidak dijelaskan senjata jenis apa yang digunakan oleh pasukan keamanan itu.
Baca juga: Junta Myanmar Bebaskan Ratusan Demonstran
Televisi pemerintah mengatakan, pasukan keamanan menggunakan “senjata huru-hara” untuk membubarkan kerumunan. Seorang warga South Dragon pada Selasa (30/3/2021) mengatakan, semalam bunyi tembakan terdengar lebih sering dari biasanya.
Hal ini meningkatkan kekhawatiran akan lebih banyak korban yang meregang nyawa akibat kekejaman militer Myanmar. Polisi dan juru bicara junta militer sejauh ini belum memberikan komentar atas melonjaknya jumlah warga sipil yang tewas.
Sebelumnya, pada Ahad (28/3/2021), aparat keamanan Myanmar melepaskan tembakan pada sebuah upacara pemakaman di dekat Yangon. Penembakan terjadi ketika para pengunjuk rasa dan warga sipil berkumpul untuk berduka atas gugurnya seratus lebih pendemo pada Sabtu (27/3/2021).
Baca juga: Arab Saudi Larang Buka Puasa Bersama di Masjid dan Restoran Selama Ramadhan
Para pelayat melarikan diri dari penembakan di upacara pemakaman untuk siswa berusia 20 tahun Thae Maung Maung di Bago, Yangon. Saksi mata mengatakan, tidak ada laporan tentang korban jiwa dalam penembakan itu.
“Saat kami menyanyikan lagu revolusi untuk, pasukan keamanan baru saja datang dan menembak kami,” kata seorang wanita bernama Aye yang berada di upacara pemakaman tersebut. “Orang-orang, termasuk kami, lari saat mereka melepaskan tembakan,” ujarnya menambahkan.
Para pengunjuk rasa mengeluarkan strategi baru untuk menentang pemerintahan militer. Pada Selasa, mereka meningkatkan kampanye pembangkangan sipil dengan meminta penduduk untuk membuang sampah ke jalan-jalan di persimpangan jalan utama. Seruan ini telah disebarluaskan di media sosial. “Aksi mogok sampah ini adalah aksi menentang junta,” tulis sebuah poster di media sosial.
Baca juga: Penyerangan di AS, Dua WNI Jadi Korban
Komite Pemogokan Umum Nasional (GSCN) dalam surat terbuka di Facebook meminta pasukan etnis minoritas untuk membantu mereka yang menentang “penindasan yang tidak adil” oleh militer. Tiga pasukan dari etnis minoritas meminta militer untuk berhenti melakukan penindasan terhadap pengunjuk rasa dan menyelesaikan masalah politik secara damai.
Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar, Tentara Arakan dan Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang menyatakan, jika militer tidak menghentikan kekerasan maka mereka akan bergabung untuk melakukan revolusi Myanmar. Pemberontak dari berbagai kelompok etnis telah berperang dengan pemerintah pusat selama beberapa dekade untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar.
Meskipun banyak kelompok telah setuju untuk gencatan senjata, pertempuran telah berkobar dalam beberapa hari terakhir antara militer Myanmar dengan pasukan etnis di timur dan utara. [Republika.co.id]